“Bejana” dalam pendidikan

Sahabat, ketika pendidikan diilustrasikan dengan sebuah proses pengisian air ke dalam sebuah bejana. Apa yang ada di benak kita ?
Tahukah kita, pemikiran ini berorientasi pada subjek tertentu yang dapat menilai sesuatu berdasarkan asumsi non-objektif bilamana dipandang dengan pendekatan yang keliru. Mari kita uraikan analogi tersebut di dalam dunia pendidikan, selebihnya silakan sahabat menilai di mana posisi pendidikan kita saat ini.
Pertama, Dalam konteks pendidikan tradisional yang terfokus pada transfer informasi dari pendidik kepada peserta didik, dapat diilustrasikan melalui analogi pengisian air ke dalam sebuah bejana. Konsep ini sering dikenal sebagai “pendidikan gaya bank.” Analoginya adalah ketika seseorang hanya berupaya untuk mengisi suatu bejana dengan jumlah air yang telah ditentukan sebelumnya, tanpa mempertimbangkan perbedaan ukuran bejana yang digunakan. Dalam hal ini, upaya tersebut mencerminkan pendekatan di mana pengetahuan dikemas dalam “porsi” yang telah diukur sebelumnya dan dipaksa tuangkan ke dalam diri setiap peserta didik.
Apabila air dengan ukuran yang telah ditentukan dimasukkan ke dalam bejana yang sesuai, maka wadah tersebut akan terisi penuh dengan air. Namun, ketika air dituangkan ke dalam bejana yang lebih kecil dari ukuran yang telah ditentukan, hasilnya adalah air akan meluap keluar dari wadah dan merembes ke segala arah. Di sisi lain, jika bejana yang digunakan lebih besar dari ukuran yang ditentukan, air mungkin tidak akan mencapai bagian atas wadah, bahkan mungkin hanya mengisi sebagian kecilnya saja.
Analogi ini menggambarkan konsep pendekatan pendidikan gaya bank di mana pengetahuan dianggap sebagai “air” yang harus dituangkan ke dalam “wadahnya”, yaitu peserta didik. Pendekatan ini cenderung mengabaikan perbedaan individu dalam hal kapasitas dan cara belajar. Pendekatan ini pula dapat menggiring ke dalam imajinasi bahwa semua manusia diciptakan oleh Tuhan dengan kemampuan yang sama. Pendidikan gaya bank lebih mementingkan transfer informasi tanpa mempertimbangkan interaksi aktif atau pemahaman subtantif di dalam diri peserta didik.
Baca juga berita : Pendidikan sepanjang hayat harus inklusif
Dalam ranah pendidikan, pada masa yang lalu, seorang filsuf pedagogik bernama Paulo Freire telah menguraikan kritik terhadap metode pendidikan yang sering disebut sebagai “pendidikan gaya bank”. Menurut Freire, pendidikan yang diterapkan dengan pendekatan ini dapat berdampak pada munculnya individu yang berperan sebagai penindas baru dalam masyarakat. Dia mengamati bahwa pendidikan yang terfokus pada model “bank”, di mana pengetahuan diberikan kepada peserta didik tanpa peran aktif dalam proses pembelajaran, dapat menghasilkan konsekuensi sosial yang merugikan. Freire percaya bahwa peran pendidikan seharusnya adalah membebaskan individu yang tertindas untuk tidak hanya berubah menjadi penindas baru. Pembebasan ini, menurut pandangan Freire, tidak hanya dimaksudkan agar mereka yang sebelumnya tertindas menjadi dominan dan berkuasa, melainkan juga untuk menciptakan kesadaran dan transformasi kolektif yang mampu membebaskan semua individu dari siklus penindasan.
Terbayang kan, sahabat ? Betapa mengerikannya pendidikan dengan gaya “bank” itu ?
Di sisi lain, apabila proses pengisian air dilakukan ke dalam sebuah bejana tidak hanya terbatas pada pengukuran dan standar tertentu, maka dapat dianggap bahwa pendekatan pendidikan lebih memperhatikan aspek keadilan. Dalam konteks ini, pendekatan tersebut melampaui pendekatan yang hanya berorientasi pada subjek si pemberi persepsi, di mana semua peserta didik dianggap memiliki kemampuan yang setara dengan persepsi sang pengajar. Pendekatan ini mengakui bahwa setiap “bejana” memiliki kapasitas yang berbeda-beda dalam menampung “air”. Nah, konsep ini menurut Prof. Charman adalah dasar pemahaman pendidikan untuk semua tanpa diskriminasi. Istilah terakhir itu yang kita kenal dengan pendidikan inklusif.
Dalam kerangka pendidikan inklusif, diperlukan pendekatan yang lebih adaptif dan responsif terhadap kebutuhan serta potensi masing-masing individu. Analogi ini mengajukan pertanyaan mengenai relevansi dan keefektifan pendidikan gaya bank, sambil menggarisbawahi pentingnya memperhatikan perbedaan dalam kapasitas belajar dan cara individu mengasimilasi pengetahuan.
pendekatan ini tidak mengacu pada jumlah air yang telah ditentukan sebelumnya, tetapi berfokus pada kapasitas bejana yang digunakan. Analogi ini mencerminkan bahwa dalam pendidikan inklusif, perhatian utama diberikan pada potensi dan kebutuhan masing-masing peserta didik, tanpa memandang secara kaku pada porsi pengetahuan yang “harus” diberikan.
Konsep ini sebanding dengan prinsip pendidikan inklusif di mana pengetahuan diadaptasi sesuai dengan kapasitas dan kebutuhan individu. Analogi ini mengilustrasikan bahwa dalam pendidikan inklusif, setiap peserta didik memiliki keunikan dan perbedaan dalam cara mereka menerima dan mengolah pengetahuan. Seperti halnya dalam analogi, bejana yang berukuran kecil memerlukan sedikit air, sedangkan bejana yang lebih besar memerlukan lebih banyak air.
Hal ini menggambarkan betapa pentingnya mengakui perbedaan dalam kapasitas belajar dan kebutuhan setiap individu dalam lingkungan pendidikan inklusif. Analogi ini mengingatkan kita bahwa pendekatan inklusif tidak mengikuti satu “ukuran” untuk semua peserta didik, tetapi menghormati keragaman dan memberikan dukungan yang tepat agar setiap peserta didik dapat berkembang sesuai dengan potensi mereka.
para penggiat pendidikan ini berpandangan bahwa Tuhan menciptakan sesuatu dengan beragam dan bukan seragam. Nah, pemikiran kita yang mana, ya? Renungkan dan jawab dengan hati nurani.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *