Kepemimpinan inklusif dalam mewujudkan Keberlanjutan kesetaraan dan keadilan: Perspektif Sosial dan hak asasi manusia

Bima Kurniawan
Akademisi Universitas Trnojoyo Madura

Dalam periode waktu 40 tahun terakhir, berbagai kajian model disabilitas menjadi topik kajian di berbagai multi disiplin ilmu. Kajian ini merambah ke dalam ranah politik yang kemudian dapat disebut dengan politik disabilitas. Melalui politik ini, orang dengan disabilitas, secara personal atau kelompok berjuang meruntuhkan stigma negatif untuk menuntut kesetaraan dan keadilan dalam berbagai lini kehidupan. Secara historis, paradigma terhadap disabilitas sering kali dipengaruhi oleh kepercayaan yang menganggap disabilitas sebagai “kutukan” atau tanda kesialan, baik bagi individu maupun komunitas di sekitarnya. Pandangan ini menyiratkan bahwa disabilitas merupakan konsekuensi dari kesalahan yang dilakukan oleh leluhur di masa lalu. Dalam hal ini, sekiranya pantas jika saya memandang paradigma ini sebagai paradigma model primitif. Seiring waktu, paradigma tersebut mulai bergeser menuju pandangan yang lebih medis, yang memandang disabilitas sebagai kondisi abnormal yang dialami oleh seseorang. Dalam kerangka ini, orang dengan disabilitas dianggap sebagai individu yang sakit dan memerlukan perawatan, terapi, atau pengobatan agar dapat pulih dan menjalankan aktivitas sebagaimana orang pada umumnya. Namun, paradigma medis ini juga membawa dampak lain, yaitu mempersepsikan penyandang disabilitas sebagai kelompok yang tidak mampu serta perlu dikasihani, sehingga mengabaikan potensi mereka untuk berkontribusi di berbagai aspek kehidupan masyarakat. Model-model ini menunjukkan bahwa persepsi terhadap disabilitas terus mengalami perkembangan dalam upaya menghapus stigma dan diskriminasi di tingkat sosial maupun structural.

Model-model disabilitas telah berperan signifikan dalam membentuk kerangka politik disabilitas, Studi Disabilitas, dan perjuangan hak asasi manusia bagi penyandang disabilitas. Di antara berbagai model yang dikembangkan, model sosial disabilitas telah diyakini sebagai pendekatan yang paling relevan dalam memahami kehidupan, perilaku, dan cara berpikir masyarakat terhadap orang dengan disabilitas. Model ini menawarkan perspektif yang transformatif dengan menantang stigma dan diskriminasi yang melekat pada model-model disabilitas sebelumnya. Model ini menggambarkan bahwa kedisabilitasan yang dialami seseseorang diakibatkan karena adanya penindasan fisik, sosial dan interaksional. Model sosial ini merupakan sebuah gagasan yang berakar pada gerakan perjuangan kelompok atau komunitas orang dengan disabilitas, di mana istilah “sosial” digunakan untuk menggambarkan kerugian dan marjinalisasi yang diciptakan secara sosial yang dialami oleh orang-orang yang memiliki (atau dianggap memiliki) ‘kedisabilitasan. Inti dari model sosial dengan model sebelumnya adalah perbedaan antara pengecualian dan kerugian yang diciptakan oleh lingkungan atau masyarakat sosial di satu sisi, dan karena adanya ciri mental, intelektual, sensorik dan fisik yang beragam dari satu individu dengan individu lain di sisi lain.

Pada tahun 1981, Disabled People’s International (DPI) memperkenalkan pendekatan baru dalam memahami konsep disabilitas dengan membedakan dua aspek utama. Pertama, keterbatasan fungsional dalam diri individu, yang disebabkan oleh hambatan fisik, mental, atau sensorik. Kedua, kehilangan atau keterbatasan peluang untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat secara umum, yang muncul akibat hambatan infrastruktur dan sosial. Pendekatan ini memberikan landasan penting untuk memahami kondisi orang dengan disabilitas secara lebih holistik, tidak hanya memandang suatu permasalahan berasal dari individu tertentu, tetapi lebih dari hasil dari hambatan sosial dan interaksional di suatu masyarakat. Sementara itu, di Inggris, Union of Physically Impaired Against Segregation (UPIAS) memperluas pemahaman ini dengan menawarkan perspektif yang lebih progresif, memandang disabilitas sebagai hasil dari penindasan di berbagai bentuk lini kehidupan sosial. Menurut komunitas ini, disabilitas bukan sekadar kondisi biologis seseorang, tetapi suatu keadaan yang “ditargetkan” kepada suatu individu melalui mekanisme isolasi dan diskriminasi, yang sangat berpotensi membatasi setiap partisipasi mereka dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pandangan ini menjadi dasar dari model sosial disabilitas, yang menekankan bahwa disabilitas lebih disebabkan oleh struktur sosial yang tidak inklusif daripada oleh karakteristik unik individu itu sendiri. UPIAS menegaskan bahwa ketidakadilan sosial ini dapat diatasi melalui perubahan sosial yang radikal, seperti memodifikasi infrastruktur, sosial dan interaksional di segala lini untuk meruntuhkan setiap hambatan yang berpotensi ditimbulkannya.
Baca artikel lengkap di sini

Lingua's Admin

Bima Kurniawan lahir di Madiun, 18 Desember 1986. Ia adalah seorang pendidik tuna netra. Ia mulai mengeluti pekerjaannya sebagai seorang pendidik Bahasa Prancis sejak Januari 2011 2 Tahun setelah lulus dari Universitas Negeri Jakarta Prodi Pendidikan Bahasa Prancis. Pada tahun itu, ia bergabung menjadi keluarga besar SMA Negeri 68 Jakarta, salah satu sekolah terbaik di Jakarta dan di Indonesia. Karirnya semakin membaik setelah pada tahun 2011, 2012 dan 2013 diberikan kepercayaan untuk mengisi materi pada pelatihan guru bahasa Prancis yang diselenggarakan oleh Persatuan Pengajar Bahasa Prancis Indonesia (PPSI) dan dipercaya pula oleh Pusat Perbukuan BALITBANG Kemdikbud sebagai penelaah buku ajar kurikulum 2013 pada tahun 2012, 2013 dan 2014. Pada tahun 2012, Bima melanjutkan studi S2 intuk program studi Linguistik Terapan di Universitas Negeri Jakarta dengan focus keahlian kritik penerjemahan. Pada tahun 2014, Bima lulus dengan predikat cum laude dan dinobatkan sebagai lulusan terbaik prodi Linguistik Terapan UNJ angkatan 2012. Pada Tahun 2021, Bima menginisiasi sebuah komunitas Guru Tunanetra Inklusif dan merupakan salah seorang pendiri aktif Ikatan Guru Tunantra Inklusif (IGTI), organisasi profesi guru dengan hambatan penglihatan yang mengabdi di satuan pendidikan umum atau penyelenggaran pendidikan inklusif. Pada tahun, 2022, setelah perangkat organisasi terbentuk, Bima ditetapkan oleh musyawarah perwakilan sebagai ketua dewan kehormatan IGTI. pada tahun yang sama Bima diangkat menjadi dosen linguistik terapan di Universitas Trunojoyo Madura.

Recent Posts

Pendidikan pancasila

Mata kuliah Pendidikan Pancasila dirancang dalam dua dimensi utama, yakni dimensi teoritis dan dimensi praktis.…

4 minggu ago

Indonesian E-Learning Platform

Mata kuliah bahasa Indonesia menawarkan cara berpikir ilmiah melalui bahasa yang sesuai dengan kaidah baku.…

7 bulan ago

Pendidikan inklusif dalam perspektif Islam

Oleh Bima Kurniawan Akademisi Universitas Trunojoyo Madura Pendidikan adalah salah satu upaya memanusiakan manusia. Upaya…

1 tahun ago

Seminar kebangsaan Harmoni dala Keberagaman, Lestari dalam Kebhinekaan : Sebuah perspektif pentingnya pendidikan inklusif dalam menggapai Tujuan pembangunan Berkelanjutan

Dalam rangka memperingati Hari Disabilitas Internasional (HDI) 2023, dengan bangga, Komunitas Penggiat Pendidikan Inklusif (KOPPI)…

2 tahun ago

Bhineka untuk kita, dengan kita dan oleh kita

Bima Kurniawan Akademisi Universitas Trunojoyo Madura Ketua Dewan Kehormatan Ikatan Guru Tunanetra Inklusif (IGTI) Pada…

2 tahun ago

Melalui adiwidia* inklusif, mari Merdekakan pendidikan : Optimalkan pendidik disabilitas

Bima Kurniawan, S. Pd., M. hum Akademisi Universitas Trunojoyo Madura Ketua Dewan Kehormatan IGTI "Penjajahan…

2 tahun ago