Pendidikan inklusif dalam perspektif Islam

Oleh Bima Kurniawan
Akademisi Universitas Trunojoyo Madura

Pendidikan adalah salah satu upaya memanusiakan manusia. Upaya itu tertuang dalam tujuan Negara Indonesia yang merdeka, adil dan makmur dalam salah satu usaha mencerdaskan bangsa. Pendidikan seyogyanya dapat dinikmati oleh seluruh warga Negara, tanpa terkecuali. Sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945 pasal 30 ayat 1 yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran”. Warga negara Indonesia berhak atas pendidikan dalam perjalanan hidupnya; pendidikan seumur hidup, yaitu melalui pendidikan dalam jenjang formal maupun pendidikan lanjutan untuk mempertahankan kelangsungan hidup mereka.
Pendidikan merupakan proses menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan, di mana setiap warga negara dalam menlangsungkan kehidupan harus berdasarkan pada norma dan aturan yang berlaku dalam tatanan negara republik Indonesia. kemampuan memahami kaidah dalam tata bermasyarakat dan bernegara harus menjadi fokus utama dalam kewajiban belajar 12 tahun yang menjadi tanggung jawab seutuhnya bagi negara dalam menfasilitasi warga negaranya. hal ini sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 30 ayat 2 yang berbunyi pendidikan yang dimaksud harus diusahakan dan diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai suatu sistem pengajaran nasional. Sistem pendidikan nasional harus dapat menfasilitasi nilai-nilai dasar bagi setiap warga negara Republik Indonesia dalam melaksanakan dan melangsungkan kehidupannya. Warga negara dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan dasar, yang berguna untuk pencapaian cita-cita bangsa, sebagai negara merdeka, bersatu, menjunjung keadilan dan perdamaian. Kemampuandimaksud meliputi keterampilan dalam membaca, menulis dan berhitung serta menggunakan bahasa Indonesia, sebagai wujud berperanserta dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. setelah mengikuti pendidikan nasional, Setiap warga negara harus mampu memahami hak dan kewajiban sebagai warga negara serta memiliki sikap nasionalisme dalam memperkuat dan menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa dalam pembelaan negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
berdasarkan apa yang telah dijabarkan, pendidikan merupakan penciptaan usaha secara sadar warga negara Indonesia dalam mempertahankan dan mengembangkan diri agar dapat tetap bertahan hidup mengikuti zaman yang begitu cepat berubah. oleh karena itu, pendidikan nasional dilaksanakan secara semesta, menyeluruh dan terpadu : semesta dalam arti terbuka bagi seluruh rakyat dan berlaku di seluruh wilayah negara; menyeluruh dalam arti mencakup semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan; dan terpadu dalam arti adanya saling keterkaitan antara pendidikan nasional dengan seluruh usaha pembangunan nasional. Oleh karena pentingnya pendidikan untuk seluruh warga Negara, maka kemajemukan bangsa yang telah menjadi landasan Negara melalui semboyan Negara Bhineka Tunggal Ika harus dikokohkan dan diintegrasikan di semua jenjang dan jalur pendidikan.
Sejalan dengan konsensi Negara, Islam telah terlebih dahulu memberikan sinyal positif terkait pendidikan. Pendidikan merupakan usaha untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Manusia telah diberikan akal oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk digunakan sebagai sarana mengapai kebahagiaan itu yang semua sudah teratur dan terjelaskan dalam kitab suci Al Quran dan Hadist nabi Muhammad Shollallohu Alaihi Wassalam. Penggunaan akal tidak akan maksimal jikalau tidak dilatih dan didik dengan benar. Oleh karenya, Islam sangat menekankan pendidikan di dalam pelaksanaan ibadah dan aktivitas duniawi. Pendidikan dalam Islam tidak dibatasi dan terbatas oleh suatu kalangan tertentu saja, karena Islam bersifat universal, maka perintah Allah untuk hambanya juga bersifat universal, termasuk di dalamnya pendidikan. Pendidikan dalam Islam merupakan aspek yang dianggap mulia, Allah mengajarkan manusia melalui Nabinya untuk memberikan kesetaraan dan keadilan bagi khususnya penyandang disabilitas di dalam mendapatkan pendidikan. Prinsip kesetaraan dan keadilan dalam akses pendidikan, terutama bagi penyandang disabilitas, dijunjung tinggi dalam ajaran agama Islam.
Baca juga berita disabilitas : Pendidikan Inklusif Disabilitas Disinggung Allah SWT dalam Al-Quran Surat Abasa

Salah satu panduan penting dalam melaksanakan pendidikan inklusif dalam Islam adalah Surat ‘Abasa, yang secara harfiah berarti “bermuka masam” dan merupakan surat ke-80 dalam Al-Quran. Surat ini termasuk dalam kategori surat Makiyyah, yang diturunkan saat periode Mekkah, dan memuat dialog mengenai hari kiamat, yang disebut munaqosah. Meskipun surat ini dimulai dengan teguran kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihiwassallam, hal itu justru meningkatkan kemuliaan beliau karena kesediaannya menyampaikan pesan teguran tersebut kepada umatnya. Kandungan surat ini menegaskan sikap terbuka nabi shalallahu ‘alaihiwassallam dalam menyampaikan pesan-pesan penting, bahkan ketika itu melibatkan kritik langsung dari Sang Pencipta.
Baca juga berita disabilitas : Belajar dari Abdullah Bin Ummi Maktum, Sahabat Disabilitas Netra yang Giat Kejar Pendidikan hingga Temui Rasulullah

Allah subhanAllahu wata’ala berfirman:
عَبَسَ وَتَوَلَّى
“Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpaling”
Pada ayat pertama, Allah Subhanahu wa Ta’ala menggambarkan bahwa Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihiwassallam mengekspresikan ketidaksenangan dengan mengernyitkan dahinya dan memalingkan wajahnya ke arah lain. Dalam kaidah ilmu linguistik, prinsip kesantunan dalam berbahasa sering kali diterapkan melalui strategi penyampaian tidak langsung. Semakin tidak langsung suatu pesan disampaikan, semakin tinggi tingkat kesantunan yang terwujud. Sebagai contoh, ketika menginstruksikan seseorang untuk meninggalkan suatu tempat, menggunakan kalimat langsung seperti “pergi dari sini!” dianggap kurang santun dan berpotensi menimbulkan konflik. Sebaliknya, kalimat seperti “bisakah kamu pergi dari sini?,” “Seandainya kamu tidak ada di sini,” atau “mungkin kalau kamu pergi akan lebih baik” merupakan alternatif yang lebih memperhatikan aspek kesantunan dalam interaksi komunikatif.
Sebagai contoh lain, ketika seorang ibu hendak memberikan nasihat kepada anaknya terkait belajar, dia tidak mengungkapkan pesan secara langsung seperti “jangan malas belajar” atau “perhatikan prestasi yang kurang memuaskan ini.” Sebaliknya, dengan lembut, dia memilih untuk mengarahkan perhatian anaknya pada contoh positif dengan mengatakan, “Lihatlah temanmu itu, nak. Dia sangat rajin belajar.” Dalam tindakan tidak langsung ini, sang ibu berupaya untuk memelihara hubungan dengan anaknya agar tetap terjaga dengan baik dengan menghindari konflik wacana langsung. Dia memilih memberikan perilaku terpuji teman anaknya yang rajin belajar sebagai cara untuk memberikan pesan moral dengan tanpa merendahkan dan menjatuhkan perasaan pada diri anaknya. Rasulullah shalallahu ‘alaihiwassallam adalah manusia maksum yang terjaga dari dosa. Tetapi dalam beberapa situasi mungkin saja beliau keliru. Namun kekeliruan itu tidak akan dibiarkan dan pasti diperingatkan langsung oleh Allah Subhanallahu Wata’ala. Terkadang Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam berijtihad dan ijtihadnya tersebut keliru, kemudian diingatkan oleh Allah Subhanallahu Wata’ala. Namun mari kita perhatikan bersama kaidah dalam ayat ini, Allah Subhanallahu Wata’ala mengingatkan Nabi-Nya dengan cara yang lembut dengan menggunakan kata ganti orang ketiga, “dia bermuka masam dan dia berpaling”. Tetapi perhatikanlah, para ulama menyebutkan bagaimana mulianya Rasulullah shalallahu ‘alaihiwassallam di sisi Allah sampai-sampai Allah Subhanallahu Wata’ala menegur Nabi dengan uslub yang indah. Allah Subhanallahu Wata’ala tidak mengatakan, “engkau bermuka masam dan berpaling”. Padahal Allah sedang berbicara dengan Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam Muhammad yang berposisi sebagai orang kedua karena Al-Quran diturunkan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihiwassallam. Namun Allah Subhanallahu Wata’ala tidak menggunakan kata ganti orang kedua melainkan orang ke tiga “dia bermuka masam dan dia berpaling”. Ini adalah kelembutan Allah Subhanallahu Wata’ala kepada Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam karena Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam adalah kholilul rahman (kekasih Allah Subhanallahu Wata’ala).
Adapun penyebab mengapa Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam berperilaku seperti ini dijelaskan lebih lanjut dalam ayat berikutnya, di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
2. أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَى
“karena seorang tunanetra telah datang (kepadanya)”
Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat ini untuk memberikan peringatan kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihiwassallam terkait sikapnya terhadap Abdullah bin Ummi Maktum, seorang sahabat yang memiliki disabilitas tunanetra, yang datang menemui beliau. Pada saat yang bersamaan Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam sedang berdakwah kepada para pembesar Quraish. Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam senantiasa berharap agar para pemimpin Quraisy masuk Islam, karena keyakinannya bahwa jika mereka memeluk agama Islam, para pengikut mereka juga akan mengikuti jejak pemimpinnya. Saat Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam tengah fokus berdakwah kepada para pemimpin Qurais, tiba-tiba Abdullah bin Ummi Maktum datang dan langsung memotong pembicaraan beliau shalallahu ‘alaihiwassallam untuk meminta petunjuk tentang agama Islam. Hal ini membuat Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam merasa terganggu karena kehadiran sahabat tersebut terjadi pada saat penting dalam dakwah beliau. Akibatnya, beliau menunjukkan ekspresi kekecewaan dengan mengernyitkan dahinya dan memalingkan wajahnya dari Abdullah bin Ummi Maktum, untuk kemudian melanjutkan dakwahnya kepada para pemimpin Quraisy yang memiliki pengaruh sosial dan ekonomi yang besar.
Adapun apa yang menjadi keinginan Abdullah bin Ummi Maktum radhiallahu ‘anhu dijelaskan kemudian dalam firman-Nya:
3. وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّى
“dan tahukah engkau (Muhammad) barangkali dia ingin menyucikan dirinya (dari dosa)”
Melalui ayat ini, Allah Subhanallahu Wata’ala mengingatkan Rasulullah shalallahu ‘alaihiwassallam yang tidak menghiraukan Abdullah bin Ummi Maktum. Seakan-akan Allah Subhanallahu Wata’ala menyatakan, “Wahai Muhammad, engkau bermuka masam dan berpaling padahal orang yang datang kepadamu adalah seorang tunanetra. Seharusnya tunanetra lebih engkau perhatikan. allah telah mengajarkan kepada manusia untuk memberikan skala prioritas kepada para penyandang disabilitas dalam sisi kebaikan. Mari kita perhatikan, bagaimana mulianya Islam untuk semesta, hak dan kewajiban, bahkan untuk penyandang disabilitas pun harus dijaga dan dipenuhi. Islam juga mengajarkan kepada pemeluknya untuk senantiasa mempertimbangkan udzur (dispensasi) umat rentan lain, sahabat tunanetra datang dan juga memotong pembicaraan Nabi karena sahabat itu tidak melihat apa yang sedang Nabi lakukan. Terlebih, sahabat tunanetra yang datang tersebut memiliki tujuan mulia, yaitu “Barangkali dia datang ingin membersihkan dirinya dari dosa.”
Oleh karena itu, para ulama mengatakan, “Orang yang datang kepadamu untuk mencari ilmu hendaklah dia didahulukan.” Dan inilah yang dilakukan oleh Abdullah bin Ummi Maktum, dia datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihiwassallam untuk mencari ilmu, berdasarkan perkataannya, “Ya Rasulullah shalallahu ‘alaihiwassallam berilah petunjuk kepadaku.” Sahabat ini datang untuk meminta pengajaran dari Rosullullah sebagaimana firman-Nya:
4. أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَى
“atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, yang memberi manfaat kepadanya”
5. أَمَّا مَنِ اسْتَغْنَى
“Adapun orang yang merasa dirinya tidak butuh (pembesar-pembesar Quraisy)”
6. فَأَنْتَ لَهُ تَصَدَّى
“malah engkau memberi perhatian kepadanya”
7. وَمَا عَلَيْكَ أَلَّا يَزَّكَّى
“padahal tidak ada (cela) atasmu kalau dia tidak mensucikan diri (beriman)”
8. وَأَمَّا مَنْ جَاءَكَ يَسْعَى
“dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran)”
9. وَهُوَ يَخْشَى
“sedang dia takut (kepada Allah)”
Allah Subhanallahu Wata’ala kembali mengingatkan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassallam, meskipun para pembesar Quraisy telah menunjukkan sikap sombong dan tidak tertarik dengan ajakan dakwah dari Nabi. Nabi justru mendatangi mereka, padahal ada orang yang datang langsung kepada Nabi untuk mendapatkan pengajaran tetapi beliau malah menjauhinya. Secara logis, keputusan Nabi untuk mendekati para pembesar dan kaum kaya Quraisy terlihat beralasan karena jika mereka masuk Islam, banyak yang akan mengikuti jejak mereka. Namun, jika mereka tidak tertarik dengan Islam, hal itu bukanlah urusan Nabi karena dakwah hanya merupakan tugasnya, sedangkan hidayah sepenuhnya dalam kehendak Allah Subhanallahu Wata’ala. Tidak ada kesalahan dalam tindakan Nabi jika mereka memilih untuk tetap berpegang pada agama nenek moyang mereka. Sifat sombong para pembesar ini menjadi contoh buruk seseorang yang merasa tidak butuh ilmu agama dapat terjerumus ke dalam keangkuhan dan kedzoliman.
Allah Subhanallahu Wata’ala juga mengajarkan kepada manusia pada umumnya, dan secara khusus kepada penyandang disabilitas melalui sikap terpuji dari Abdullah bin Ummi Maktum. Dalam kesempatan ini, saya menyarankan kepada sesama rekan disabilitas untuk mencontoh perilaku Abdullah bin Ummi Maktum dalam mengejar pendidikan. Dalam surat ini, Abdullah bin Ummi Maktum digambarkan memiliki 3 perilaku terpuji dalam mengejar ilmu pengetahuan
Pertama, وَأَمَّا مَنْ جَاءَكَ (Dan adapun orang yang datang kepadamu) yaitu Abdullah bin Ummi Maktum datang langsung kepada Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam. Dalam proses akuisisi pengetahuan, penting bagi kita untuk mencari sosok guru yang tepat. Kita membutuhkan seseorang yang bisa menjadi sumber ilmu dan membimbing kita dalam perjalanan pembelajaran. Di negara kita, sistem pendidikan formal mengarahkan kita untuk bersekolah, tempat di mana kita dapat menggali pengetahuan secara terstruktur. Di samping itu, pendidikan non-formal juga memiliki peran penting, seperti belajar di masjid dengan para tokoh agama untuk memperoleh pengetahuan akhlak dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Kedua, يَسْعَى (berusaha) artinya Abdullah bin Ummi Maktum datang untuk mendapatkan pendidikan dengan semangat yang tinggi. Semangat yang dimiliki oleh Abdullah bin Ummi Maktum tidak usah dipertanyakan lagi. Mari kita bayangkan kehidupan di zaman itu untuk penyandang tunannetra. Saya saja yang hidup di era saaet ini terkadang memiliki banyak hambatan dalam orientasi mobilitas, apalagi di zaman itu yang segala pendukungnya masih terbatas. Pesan yang dapat diambil dari sikap dan perilaku dari sahabat ini adalah pentingnya menjalankan ibadah dengan disertai semangat yang tinggi. Meskipun waktu dan kesempatan yang dimiliki oleh setiap individu untuk beribadah sama, namun semangat dan ketakwaan yang dimiliki akan sangat mempengaruhi hasil akhirnya. Demikian juga dalam menuntut ilmu, waktu yang dipersembahkan untuk belajar tidaklah berbeda secara substansial antara satu individu dengan individu lainnya, tetapi semangat dan dedikasi yang diberikan akan mempengaruhi hasil akhir dan pahala yang diperoleh.
Ketiga, وَهُوَ يَخْشَى (dan dia takut) yaitu Abdullah bin Ummi Maktum takut kepada Allah Subhanallahu Wata’ala. Hal ini adalah peringatan kepada para penuntut ilmu. agar selalu memperhatikan keikhlasan dalam menuntut ilmu. Sikap ikhlas itu kemudian menjadikan rasa takut bersemayam di hati mereka, rasa takut yang hanya diperuntukan kepada Allah Subhanallahu Wata’ala. Pengetahuan yang diperoleh tidak semata-mata untuk meningkatkan pemahaman, tetapi juga untuk memperdalam ketakutan kita akan kebesaran Allah Subhanallahu Wata’ala. Oleh karena itu, para ulama terdahulu menegaskan bahwa rasa takut merupakan puncak dari ilmu. Keteladanan yang tercermin dari Abdullah bin Ummi Maktum, dengan penyatuan ketiga sifat tersebut, seharusnya menjadi inspirasi bagi kita semua dalam perjalanan menuntut ilmu.
Di sisi lain, saat para pencari ilmu diharapkan memiliki ketiga sifat tersebut, tanggung jawab juga harus dipenuhi oleh pihak yang memiliki wewenang dalam pendidikan untuk tidak mengabaikan mereka, terutama para penuntut ilmu dari kalangan penyandang disabilitas yang telah siap untuk menerima pendidikan. Allah Subhanallahu Wata’ala telah menjelaskan pentingnya sikap inklusif dalam firman-Nya, yang mengingatkan manusia agar berlaku adil kepada sesama; bahwa setiap individu, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus, harus diperhatikan dan diberikan kesempatan yang sama dalam mendapatkan pendidikan.
10. فَأَنْتَ عَنْهُ تَلَهَّى
“engkau (Muhammad) malah mengabaikannya”
Ini adalah peringatan dari Allah Subhanallahu Wata’ala untuk Rasulullah shalallahu ‘alaihiwassallam. Rasulullah shalallahu ‘alaihiwassallam selain sebagai pemimpin umat Islam pada saat itu, juga sebagai pendidik yang mengajarkan seluruh umat untuk berperilaku sesuai dengan tuntunan yang diperintahkan oleh Allah Subhanallahu Wata’ala. Dalam hal ini, Allah Subhanallahu Wata’ala mengingatkan Rasulullah shalallahu ‘alaihiwassallam sebagai pemimpin dan pendidik harus berperilaku adil kepada seluruh umat. Sekali lagi, peringatan ini bukan menjadikan Rasulullah shalallahu ‘alaihiwassallam tercela, tetapi ada hikmah yang dapat kita ambil untuk kehidupan kita saat ini, karena Al Quran berlaku secara universal, kandungannya menceritakan bagaimana kita harus mengambil tauladan dari kisah yang telah Allah firmankan. Pelajaran besar yang dapat kita ambil adalah ketika ada penyandang disabilitas atau individu rentan lainnya yang terkumpul sifat di atas ingin menuntut ilmu, adalah perkara yang dilarang oleh agama Islam mengabaikan individu tersebut.
Diriwayatkan kemudian setelah kejadian itu jika Abdullah bin Ummi Maktum datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihiwassallam, maka beliau menyambutnya dengan mengatakan
“Marhaban (selamat datang) orang yang Robbku menegurku karenanya”
Beliau juga berkata kepadanya “Apakah ada keperluanmu?”
Setelah ayat ini turun, Rasulullah shalallahu ‘alaihiwassallam sangat memuliakan Abdullah bin Ummi Maktum. Dalam sejarah Islam, Rasulullah shalallahu ‘alaihiwassallam menjadikan Abdullah bin Ummi Maktum sebagai kepala Madinah atau yang menguasai kota Madinah selama Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam meninggalkan Madinah untuk memenuhi panggilan jihad. Abdullah bin Ummi Maktum menjadi kepala Madinah sebanyak dua kali periode peperangan. Rasulullah shalallahu ‘alaihiwassallam mempercayakan posisi penting sebagai pemimpin yang mengurusi keperluan masyarakat di kota Madinah kepada Abdullah bin Ummi Maktumyang merupakan seorang penyandang disabilitas. Hal ini menunjukkan pemuliaan dan keadilan Rasulullah shalallahu ‘alaihiwassallam terhadap seluruh umatnya. Siapapun umat di kala itu memiliki hak dan kewajiban yang sama, bahkan seorang seperti Abdullah bin Ummi Maktum sekalipun dapat menjadi pemimpin karena Rasulullah shalallahu ‘alaihiwassallam menganggap sahabat itu mampu melaksanakan tugasnya dengan baik.
Demikian juga Nabi menjadikan beliau sebagai tukang azan subuh yaitu azan yang kedua padahal beliau tidak bisa melihat fajar. Beliau hanya bisa azan kalau ada yang memberitahu bahwa fajar sudah terbit. Semua ini semua dilakukan oleh Nabi dalam rangka menaati perintah dari Allah Subhanallahu Wata’ala agar berlaku adil kepada seluruh umat. Tidak ada yang membedakan suatu umat melainkan keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah Subhanallahu Wata’ala.
Pada asalnya kita dianjurkan untuk melaksanakan pendidikan inklusif untuk memberikan kemaslahatan semua umat. Akan tetapi “inklusif” harus disertai dengan keimanan dan ketaqwaan, sehingga tidak ada pelanggaran untuk menutupi kebajikan Karena salah satu tujuan utama pendidikan inklusif dalam ajaran Islam adalah agar setiap umat mendapatkan apa yang menjadi bagian dari hidupnya dengan mengutamakan pengamalan prinsip-prinsip keimanan kepada Allah. Pendidikan inklusif sejatinya memberikan rasa takut kepada Allah dengan mengamalkan sikap luhur dan menjauhi sikap tidak terpuji seperti keangkuhan dan kesombongan. Pendidikan inklusif membawa manusia pada fitahnya untuk mencari kebenaran yang hakiki, bukan untuk sekadar mencari pembenaran. Baik, masyarakat sejahtera, prasejahtera, penyandang disabilitas atau bukan penyandang disabilitas pada hakikatnya mereka adalah sama, yang membedakan merka adalah keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Subhanallahu Wata’ala. Kita harus menjadikan Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam suri tauladan dalam segala lini kehidupan. Contohnya, Nabi memberikan dua hak asasi kepada Abdullah bin Ummi Maktum, yaitu hak atas pendidikan dan pekerjaan sebagai muadzin. Abdullah bin Ummi Maktum mendapatkan pendidikan sebagaimana sahabat yang lainnya, dan diberikan pula tanggung jawab pekerjaan sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya. Sebagai umat muslim, kita harus peka dengan setia perintah dan larangan yang diberikan oleh Allah, sebagaimana Dia Subhanallahu Wata’ala berfirman:
11. كَلَّا إِنَّهَا تَذْكِرَةٌ
“sekali-kali jangan (begitu)! Sungguh, (ajaran-ajaran Allah) itu suatu peringatan”
Firman Allah Subhanallahu Wata’ala yang diturunkan kepada baginda Rosullulloh shalallahu ‘alaihiwassallam ini merupakan suatu peringatan yang bersifat umum/ universal kepada seluruh kaum muslimin yang bermakna bahwa surat ini merupakan sebuah washiat untuk kaum muslimin agar berperilaku adil dengan menjunjung nilai kesetaraan dalam hak dan kewajiban dalam hal pendidikan. Apabila kita memperhatikan ijtihad Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam, sesungguhnya beliau sepenuhnya tidaklah salah, karena, pertama beliau ingin memberikan pendidikan/ pengajaran tentang kemuliaan Islam kepada para pembesar Quraisy, sehingga jika mereka memeluk agama islam maka akan ada banyak orang yang mengikutinya. kedua Abdullah bin Ummi Maktum pada saat itu sudah memeluk agama islam sehingga walaupun tidak diberikan pengajaran saat itu juga dia akan tetap berada dalam keislaman sehingga pengajaran kepadanya dapat ditunda di lain waktu. Namun bersamaan dengan itu, ijtihad Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam tetap dinilai tidak tepat oleh Allah Subhanallahu Wata’ala. Karena Abdullah bin Ummi Maktum adalah seorang tunaetra yang memiliki 3 perilaku terpuji yang telah dijabarkan sebelumnya, datang langsung menghadap Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam dengan disertai semangat dan rasa takut kepada Allah Subhanallahu Wata’ala. Dialah yang lebih berhak untuk mendapatkan skala prioritas atas ilmu kebajikan daripada para pembesar Quraisy yang sombong dan angkuh itu.
Dari sini dapat diambil faedah bahwasanya dalam memberikan pendidikan hendaklah tidak pandang bulu bagaimanapun dan siapapun orangnya, tanpa memandang status sosial atau kondisi seseorang, baik itu dari kalangan sejahtera maupun prasejahtera, serta apakah mereka seorang penyandang disabilitas atau bukan. Meskipun memberikan pendidikan kepada masyarakat sejahtera atau bukan penyandang disabilitas tampaknya memberikan manfaat yang besar, namun hal tersebut tidak boleh membuat kita lalai terhadap hak pendidikan yang seharusnya diberikan kepada masyarakat prasejahtera atau penyandang disabilitas. Ada kemungkinan bahwa beberapa pendidik lebih condong kepada peserta didik dari kalangan keluarga sejahtera, sehingga mereka mengabaikan peserta didik dari kalangan keluarga prasejahtera atau peserta didik penyandang disabilitas. Tindakan seperti ini sebenarnya melanggar ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanallahu Wata’ala.
Oleh karena itu, di bulan yang penuh berkah ini, di mana Al Quran diturunkan secara penuh ke langit dunia, hendaknya kita sebagai umat muslim, baik sebagai pemerintah, pendidik, peserta didik harus mengamalkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanallahu Wata’ala dan Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam dalam Al-Quran dan hadisnya. Semoga Allah Subhanallahu Wata’ala memberi kita kemudahan dalam mengamalkan segala perintah-Nya, terutama dalam kaitannya dengan pendidikan inklusif. Allahu a’lam bissowab….
Baca juga berita disabilitas : Mahasiswa UNESA Isi Momen Ramadhan dengan Belajar Baca Al-Quran Menggunakan Bahasa Isyarat
referensi:
Leech, G. (1989). Principles of Pragmatics. New York: Longman Linguistics Library.
Leech, G. (2014). The Pragmatics of Politeness; Studies in Sociolinguistics. UK: Oxford University Press.
Dr. Firanda Andirja Abidin, Lc., M.A. (2020, 10 Maret). Tafsir Surat ‘Abasa. Diakses dari https://bekalislam.firanda.net/3766-tafsir-surat-abasa.html#

Lingua's Admin

Bima Kurniawan lahir di Madiun, 18 Desember 1986. Ia adalah seorang pendidik tuna netra. Ia mulai mengeluti pekerjaannya sebagai seorang pendidik Bahasa Prancis sejak Januari 2011 2 Tahun setelah lulus dari Universitas Negeri Jakarta Prodi Pendidikan Bahasa Prancis. Pada tahun itu, ia bergabung menjadi keluarga besar SMA Negeri 68 Jakarta, salah satu sekolah terbaik di Jakarta dan di Indonesia. Karirnya semakin membaik setelah pada tahun 2011, 2012 dan 2013 diberikan kepercayaan untuk mengisi materi pada pelatihan guru bahasa Prancis yang diselenggarakan oleh Persatuan Pengajar Bahasa Prancis Indonesia (PPSI) dan dipercaya pula oleh Pusat Perbukuan BALITBANG Kemdikbud sebagai penelaah buku ajar kurikulum 2013 pada tahun 2012, 2013 dan 2014. Pada tahun 2012, Bima melanjutkan studi S2 intuk program studi Linguistik Terapan di Universitas Negeri Jakarta dengan focus keahlian kritik penerjemahan. Pada tahun 2014, Bima lulus dengan predikat cum laude dan dinobatkan sebagai lulusan terbaik prodi Linguistik Terapan UNJ angkatan 2012. Pada Tahun 2021, Bima menginisiasi sebuah komunitas Guru Tunanetra Inklusif dan merupakan salah seorang pendiri aktif Ikatan Guru Tunantra Inklusif (IGTI), organisasi profesi guru dengan hambatan penglihatan yang mengabdi di satuan pendidikan umum atau penyelenggaran pendidikan inklusif. Pada tahun, 2022, setelah perangkat organisasi terbentuk, Bima ditetapkan oleh musyawarah perwakilan sebagai ketua dewan kehormatan IGTI. pada tahun yang sama Bima diangkat menjadi dosen linguistik terapan di Universitas Trunojoyo Madura.

Recent Posts

Pendidikan pancasila

Mata kuliah Pendidikan Pancasila dirancang dalam dua dimensi utama, yakni dimensi teoritis dan dimensi praktis.…

4 minggu ago

Indonesian E-Learning Platform

Mata kuliah bahasa Indonesia menawarkan cara berpikir ilmiah melalui bahasa yang sesuai dengan kaidah baku.…

7 bulan ago

Kepemimpinan inklusif dalam mewujudkan Keberlanjutan kesetaraan dan keadilan: Perspektif Sosial dan hak asasi manusia

Bima Kurniawan Akademisi Universitas Trnojoyo Madura Dalam periode waktu 40 tahun terakhir, berbagai kajian model…

10 bulan ago

Seminar kebangsaan Harmoni dala Keberagaman, Lestari dalam Kebhinekaan : Sebuah perspektif pentingnya pendidikan inklusif dalam menggapai Tujuan pembangunan Berkelanjutan

Dalam rangka memperingati Hari Disabilitas Internasional (HDI) 2023, dengan bangga, Komunitas Penggiat Pendidikan Inklusif (KOPPI)…

2 tahun ago

Bhineka untuk kita, dengan kita dan oleh kita

Bima Kurniawan Akademisi Universitas Trunojoyo Madura Ketua Dewan Kehormatan Ikatan Guru Tunanetra Inklusif (IGTI) Pada…

2 tahun ago

Melalui adiwidia* inklusif, mari Merdekakan pendidikan : Optimalkan pendidik disabilitas

Bima Kurniawan, S. Pd., M. hum Akademisi Universitas Trunojoyo Madura Ketua Dewan Kehormatan IGTI "Penjajahan…

2 tahun ago