Melalui adiwidia* inklusif, mari Merdekakan pendidikan : Optimalkan pendidik disabilitas

Bima Kurniawan, S. Pd., M. hum
Akademisi Universitas Trunojoyo Madura
Ketua Dewan Kehormatan IGTI

“Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan”, sepenggal kalimat ini kerap kali terdengar dalam upacara kebangsaan. Kalimat singkat, namun sarat akan makna, yang mencerminkan esensi nilai-nilai luhur yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Pernyataan tersebut bukan sekadar semboyan seremonial, melainkan landasan filosofis bagi sikap dan perilaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Penjajahan diartikan sebagai hasil dari dinamika sebab-akibat yang melibatkan upaya penindasan, yang pada dasarnya merupakan tindakan merampas kebebasan individu. Sebaliknya, pembebasan dari penindasan dilihat sebagai pencapaian kebebasan sejati. Dengan kata lain, penghapusan penjajahan dipahami sebagai merealisasikan kemerdekaan, sebuah konsep yang diakui sebagai hak universal setiap individu dengan prinsip kesetaraan dan keadilan sebagai landasan utamanya.
Baca juga berita liputan 6 penyandang disabilitas memiliki hak untuk menjadi pendidik
Pada era kolonial, kemerdekaan sering kali dicapai melalui perjuangan fisik yang sering mengakibatkan kerugian materil dan formil yang signifikan. Proses mencapai kemerdekaan tidak jarang melibatkan perang fisik atau perlawanan bersenjata, yang pada gilirannya dapat mengakibatkan berbagai konsekuensi berat termasuk hilangnya banyak nyawa. Sedangkan i era kemerdekaan, upaya untuk menghapuskan segala bentuk penindasan merupakan keharusan yang memerlukan pendekatan yang lebih holistik dan terencana. Pertama, penerapan nilai-nilai luhur bangsa menjadi landasan penting dalam membangun Asmaraloka*. Kesadaran akan identitas nasional, keberagaman, dan semangat persatuan menjadi pondasi dalam menggalang dukungan masyarakat untuk bersama-sama menolak penindasan. Penanaman nilai-nilai tersebut dapat dilakukan melalui pendidikan atas kecintaan pada Negara Kesatuan republik Indonesia dengan menfasilitasi generasi muda dengan pemahaman yang bestari* tentang sejarah, identitas nasional, dan sakralitas budaya.
Kedua, Hukum turut berperan signifikan dalam menjaga stabilitas tatalaksana segala aspek kehidupan yang rahayu*. Penegakkan hukum menjadi instrumen vital dalam memastikan perlindungan hak dasar individu atau kelompok dalam memperoleh kesetaraan dan keadilan. Keberadaan sistem hukum yang adil dan non-diskriminatif menjadi prasyarat untuk mewujudkan masyarakat yang bebas dari penindasan. Masyarakat harus terlibat aktif dalam menjaga proses hukum agar tetap dalam koridor yang ditetapkan oleh Umbu* pendiri bangsa. Masyarakat yang terlibat secara aktif dalam memantau dan memastikan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip hukum yang bermartabat menjadi garda terdepan dalam melawan potensi penyalahgunaan kekuasaan dan penindasan. Salah satu pendekatan efektif dalam memastikan keberlanjutan proses hukum yang sesuai dengan norma-norma moral dan etika adalah memberikan ruang yang cukup untuk advokasi hak asasi manusia. Dengan memberikan tempat yang proporsional bagi advokasi hak asasi manusia, setiap individu memiliki kesempatan untuk menyuarakan hak-haknya, memperjuangkan keadilan, dan melibatkan diri dalam membangun masyarakat yang inklusif dan demokratis.
Selanjutnya, di dalam tatanan masyarakat, Pendidikan sepanjang hayat menjadi instrumen strategis untuk mengatasi kebodohan yang sering kali menjadi katalisator penindasan. Peningkatan kemampuan literasi dan numerasi masyarakat, dapat menciptakkan dasar pijakan untuk pemahaman dan penghargaan yang lebih baik terhadap hak asasi setiap individu. Hasilnya, masyarakat memiliki peluang untuk meningkatkan kemampuan kritis dalam menolak segala bentuk penindasan. Pendidikan yang holistik dan inklusif dapat memainkan peran kunci dalam membentuk masyarakat yang beradab dan berbudaya, yang pada akhirnya, dapat menciptakan komunitas yang saling menghormati hak asasi manusia lainnya. Holistik dalam pendidikan merujuk pada pendekatan yang tidak hanya fokus pada aspek kognitif, tetapi juga melibatkan pengembangan aspek sosial, emosional, dan spritual setiap individu pembelajar. Sedangkan dalam konteks inklusif, pendidikan dirancang untuk mengakomodasi keberagaman, memastikan partisipasi setiap individu, tanpa memandang latar belakang, kemampuan, atau kondisi kedisabilitasan tertentu.
Pendidikan holistik dan inklusif menciptakan lingkungan di mana tidak hanya setiap peserta didik dihargai sebagai individu yang unik dan memiliki potensi yang dapat dikembangkan, tetapi juga pendidik yang memiliki kemerdekaan dalam mengoptimalkan potensi diri dalam mengembangkan karir. Melalui pendekatan ini, terbentuklah lingkungan belajar yang saling memerdekakan, yang pada akhrinya terlepas dari “penjajahan” di ruang-ruang pendidikan. Pendidik dan peserta didik harus terlepas dari belenggu peindasan. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi telah mengidentifikasi perundungan, intoleransi, dan pelecehan seksual sebagai dosa besar dalam dunia pendidikan. Kelompok yang sangat rentan terhadap dampak dosa besar pendidikan ini adalah penyandang disabilitas, baik sebagai peserta didik maupun sebagai pendidik. Oleh karena itu, upaya memerdekakan setiap individu dari dosa besar pendidikan harus terus ditegakkan untuk memastikan bahwa pendidikan benar-benar menjadi pilar kemerdekaan dan hak asasi manusia bagi masyarakat Indonesia.
Dalam dunia pendidikan, hak penyandang disabilitas telah diatur secara tegas melalui Undang-Undang No. 8 tahun 2016 pasal 10 huruf A sampai D. Undang-Undang tersebut memberikan landasan hukum bagi penyelenggaraan pendidikan yang berpihak pada kepentingan, kesetaraan dan keadilan bagi mereka. Hak-hak pendidikan bagi penyandang disabilitas mencakup aspek-aspek penting seperti pertama, mendapatkan pendidikan yang bermutu pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan baik secara inklusif maupun khusus. Kedua, penyandang disabilitas juga mempunyai Kesamaan Kesempatan untuk menjadi pendidik atau tenaga kependidikan pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan. Ketiga, hak penyandang disabilitas juga mencakup kesempatan untuk menjadi penyelenggara pendidikan yang berkualitas di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan. Ketentuan ini mencerminkan komitmen untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang memerdekakan bagi semua, tanpa memandang pemberdayaan kondisi fisik, sensorik, intelektual atau mental setiap individu. Selanjutnya, penyandang disabilitas berhak mendapatkan akomodasi yang layak sebagai peserta didik, menegaskan prinsip bahwa setiap individu memiliki hak yang sama untuk memperoleh kemerdekaan dalam pendidikan sepanjang hayat tanpa adanya hambatan atau diskriminasi.
Dalam mengimplementasikan Undang-Undang No. 8 tahun 2016, langkah-langkah konkret telah diambil oleh pemerintah melalui penindaklanjutan pada pasal 10 huruf A dan D. Hal ini terwujud dalam pengesahan Peraturan Pemerintah (PP) No. 13 tahun 2020 dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 48 tahun 2023, yang mengkaji dan mengatur mengenai pemberian akomodasi yang layak bagi peserta didik penyandang disabilitas. Meskipun demikian, perhatian khusus masih diperlukan terkait dengan penindaklanjutan pada pasal 10 huruf B. Belum adanya tindak lanjut pada aspek ini menjadi suatu kajian lanjutan bagi semua atas ketimpangan yang menghambat kemerdekaan pendidik atau tenaga kependidikan disabilitas, terutama mengingat urgensi ketentuan pada pasal 53 UU No. 8 Tahun 2016. Pasal ini menekankan kewajiban Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah untuk mempekerjakan minimal 2% (dua persen) penyandang disabilitas dari total pegawai atau pekerja, sementara perusahaan swasta diwajibkan mempekerjakan minimal 1% (satu persen) penyandang disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja.
Hasil positif dapat dilihat dari perkembangan saat ini, dimana banyak penyandang disabilitas yang telah berhasil terintegrasi sebagai pendidik atau tenaga kependidikan di berbagai jenis, jenjang, dan jalur pendidikan. Penerapan pasal 10 huruf B dan pasal 53 ini telah memberikan peluang nyata bagi penyandang disabilitas untuk berperan aktif dalam dunia pekerjaan, khususnya dalam profesi pendidik dan tenaga kependidikan. Pemantauan dan pengesahan peraturan turunan lebih lanjut perlu dilakukan guna memastikan bahwa semua aspek UU No. 8 tahun 2016 dapat dijalankan secara efektif dan menyeluruh, sehingga hak dan kesempatan penyandang disabilitas di bidang pendidikan dan pekerjaan dapat terus ditingkatkan.
Baca juga berita liputan 6 10 rekomendasi untuk memerdekakan pendidik disabilitas
Pengesahan peraturan pemerintah (PP) dan peraturan menteri pendidikan, kebudayaan, riset dan teknologi (Permendikbud) lebih lanjut akan menjadi aspek penting dalam memberikan kepastian hukum bagi pendidik atau tenaga kependidikan penyandang disabilitas. Peraturan ini, yang bersumber dari Undang-Undang No. 8 tahun 2016 pasal 45 sampai 51, dapat menjadi landasan bagi penetapan peraturan yang berfokus pada hak-hak pekerjaan penyandang disabilitas sebagai seorang pendidik atau tenaga kependidikan.
Pasal 45 menegaskan kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk menjamin proses rekrutmen, penerimaan, pelatihan, penempatan, keberlanjutan, dan pengembangan karier yang adil tanpa diskriminasi terhadap penyandang disabilitas. Pasal 46 memberikan ketentuan bahwa penyandang disabilitas harus diberikan kesempatan untuk mengikuti pelatihan keterampilan kerja yang bersifat inklusif dan mudah diakses. Pasal 47 memberikan panduan kepada pemberi kerja dalam proses rekrutmen, termasuk ujian penempatan yang memperhatikan minat, bakat, dan kemampuan penyandang disabilitas. Pasal 48 mengatur penempatan tenaga kerja penyandang disabilitas dengan memberikan kesempatan untuk masa orientasi, tempat kerja yang fleksibel, waktu istirahat, dan jadwal kerja yang dapat disesuaikan. Pasal 49 menetapkan bahwa upah bagi tenaga kerja penyandang disabilitas harus setara dengan tenaga kerja non-disabilitas yang memiliki jenis pekerjaan dan tanggung jawab yang sama. Pasal 50 mengatur kewajiban pemberi kerja dalam menyediakan akomodasi yang layak dan fasilitas yang mudah diakses, serta memberikan mekanisme pengaduan atas ketidakpenuhan hak penyandang disabilitas. Pemberi kerja yang tidak memenuhi kewajiban ini dapat dikenai sanksi administratif. Terakhir, Pasal 51 menjamin hak penyandang disabilitas untuk berserikat dan berkumpul dalam lingkungan pekerjaan.
Peraturan ini secara komprehensif diharapkan dapat memberikan landasan hukum yang kuat untuk melindungi, menghormati, dan menghargai hak-hak penyandang disabilitas dalam konteks pendidikan dan tenaga kependidikan, mulai dari proses penerimaan hingga proses peningkatan karir mereka. Sangat perlu kedepannya menetapkan peraturan khusus untuk pendidik dan tenaga kependidikan dalam sektor pekerjaan untuk tujuan memerdekakan pendidik dan tenaga kependidikan disabilitas. Berdasarkan UU No. 8 tahun 2016 pasal 45 sampai 51 tersebut, rekomendasi yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut :
1. Menjamin proses rekrutmen, penerimaan, pelatihan, penempatan, dan pengembangan karier berkelanjutan yang adil tanpa diskriminasi terhadap pendidik atau calon pendidik penyandang disabilitas.
2. Memberikan kesempatan kepada pendidik penyandang disabilitas untuk mengikuti pelatihan keterampilan pedagogis, kepribadian, sosial dan profesional yang bersifat inklusif dan mon-diskriminatif.
3. Memberikan panduan kepada pemberi kerja (yayasan pendidikan, dinas pendidikan atau Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi) dalam proses rekrutmen, termasuk pemberian akomodasi dalam ujian penempatan yang memperhatikan kualifikasi penyandang disabilitas.
4. Mengatur akomodasi dan penyesuaian jadwal, ruangan dan waktu mengajar pendidik penyandang disabilitas yang fleksibel.
5. memberi kesempatan untuk masa orientasi mobilitas di awal waktu penempatan untuk mengenal lebih jauh sekolah dan ruangan pendukung lain.
6. Menetapkan upah pendidik penyandang disabilitas harus setara dengan pendidik non-disabilitas dengan jenis pekerjaan dan tanggung jawab yang sama.
7. menyediakan akomodasi yang layak dan fasilitas pendidikan ramah dan mudah diakses.
8. Menyediakan ruang pengaduan atas hambatan pendidik penyandang disabilitas.
9. Memberikan sanksi kepada Pemberi kerja yang tidak memenuhi kewajiban pemenuhan akomodasi yang layak.
10. Menjamin hak pendidik penyandang disabilitas untuk berserikat dan berkumpul dalam organisasi profesi.
Peraturan turunan dari Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 akan memberikan kepastian hukum yang memerdekakan pendidik dan tenaga kependidikan disabilitas. Kehadiran regulasi ini akan menjadi landasan yang kuat untuk memberikan perlindungan dan jaminan yang komprehensif kepada pendidik, termasuk dosen dan guru disabilitas. Seiring dengan tuntutan perkembangan zaman, pendidik disabilitas kini dihadapkan pada tanggung jawab untuk dapat beradaptasi dengan pesatnya kemajuan ilmu dan pengetahuan.
Bagi pendidik disabilitas, peraturan ini mengandung makna yang mendalam karena memberikan perlindungan dan penghargaan hak yang setara dengan pendidik lain tanpa disabilitas. Salah satu aspek krusial yang harus diberikan kepada pendidik disabilitas adalah kesempatan mengikuti pendidikan sepanjang hayat yang inklusif, yaitu dengan mendapatkan akses ke pelatihan berkelanjutan guna meningkatkan kompetensi pendidik. Hal ini sejalan dengan prinsip bahwa pendidik disabilitas harus senantiasa mengembangkan diri untuk tetap relevan dengan tuntutan global. Peraturan turunan ini akan menjadi kerangka teknis yang salah satunya berisi panduan penyelenggaraan pelatihan untuk pendidik disabilitas. Kerangka teknis ini mencakup aspek perencanaan, pelaksanaan, dan pengevaluasian pelatihan. Dengan adanya pedoman teknis ini, diharapkan penyelenggaraan pelatihan berkelanjutan dapat lebih inklusif dan memberikan dampak positif yang signifikan pada peningkatan kompetensi pendidik disabilitas.
Salah satu kerangka umum bagi pengembangan diri seorang pendidik dapat diidentifikasi melalui landasan hukum yang tertuang dalam Undang-Undang No. 14 tahun 2005 Pasal 7 ayat 1 huruf g. Landasan ini memberikan kesempatan kepada pendidik untuk terus mengembangkan keprofesionalannya melalui pembelajaran sepanjang hayat. Pemberdayaan profesi guru dan dosen diatur secara demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif, dan berkelanjutan, dengan menghormati hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, kemajemukan bangsa, dan kode etik profesi. Pengembangan diri ini mencakup pengakuan profesi melalui sertifikat pendidik sesuai dengan Pasal 8 dan 45. Guru dan dosen diwajibkan memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik. Selain penetapan sertifikat pendidik, sangat perlu untuk menekankan peningkatan kompetensi pendidik sesuai dengan kebutuhan nasional dan global. Pendidik disabilitas juga harus dapat menikmati pengembangan kompetensi yang relevan dengan kebutuhan zaman. Tujuannya adalah agar pendidik disabilitas dapat menguasai pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk memberikan layanan pendidikan yang berkualitas dan kompetitif.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi saat ini menggencarkan upaya pengembangan kompetensi pendidik dengan fokus pada implementasi Pembelajaran berdiferensiasi. Konsep pembelajaran berdiferensiasi diarahkan untuk memastikan bahwa setiap peserta didik dapat mencapai tingkat kompetensi yang diinginkan. Pendekatan ini merupakan strategi pembelajaran yang mendukung peserta didik dengan menghargai, mengakui, dan menyediakan layanan yang sesuai dengan keberagaman mereka dalam hal kesiapan, kemampuan, dan kebutuhan belajar. Kementerian memberikan solusi konkrit melalui penguatan profil calon guru melalui program Pendidikan Profesi Guru (PPG) dan peningkatan kemampuan kepemimpinan pembelajaran melalui guru penggerak, sebagaimana diatur dalam Permendikbud No. 26 tahun 2022 tentang Profil Guru Penggerak. Profil ini mencakup berbagai aspek kemampuan guru, termasuk kemampuan merencanakan, melaksanakan, menilai, dan merefleksikan pembelajaran yang berbasis data. Selain itu, guru penggerak diharapkan dapat melakukan kolaborasi efektif dengan orang tua, rekan sejawat, dan komunitas. Pengembangan kompetensi mandiri dan berkelanjutan juga menjadi fokus utama dalam upaya memperkuat profil guru, sehingga guru dapat terus berkembang dan memberikan kontribusi positif dalam meningkatkan kualitas pembelajaran.
Sedangkan dalam hal peningkatan kompetensi dan ketrampilan dosen, salah satu upaya yang dapat diambil adalah melalui program PEKERTI dan AA. Program ini, yang merupakan singkatan dari Program Peningkatan Keterampilan Dasar Teknik Instruksional dan Applied Approach, memiliki tujuan untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalisme dosen dalam menjalankan jabatan fungsional, terutama dalam mengembangkan keterampilan pedagogis. Program ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif terhadap pengembangan diri dosen, termasuk yang memiliki disabilitas, dalam memenuhi tuntutan tugas tri dharma perguruan tinggi, memperkaya pengalaman belajar mahasiswa, dan mengoptimalkan standar pendidikan secara paripurna. Program PEKERTI dan AA secara khusus dirancang agar dapat mencapai hasil yang bermanfaat, memberikan dorongan signifikan dalam peningkatan kompetensi dosen, dan memastikan keterlibatan mereka dalam mencapai standar pendidikan yang berkualitas.
Beberapa contoh pelatihan yang telah diselenggarakan masih menunjukkan potensi adanya diskriminasi. Hal ini disebabkan oleh penerapan kegiatan yang hanya berlandaskan kerangka hukum atau peraturan yang bersifat umum. Pelatihan yang telah dilaksanakan mungkin belum sepenuhnya mempertimbangkan kebutuhan dan karakteristik khusus pendidik secara inklusif, sehingga dampaknya dapat meninggalkan asas keadilan dan kesetaraan bagi sebagian pendidik yang memiliki kerentanan tertentu. Kondisi ini mungkin masih akan terus berlangsung pada pelatihan lanjutan di masa mendatang sebelum adanya peraturan turunan khusus yang mengatur akomodasi bagi pendidik disabilitas. Oleh karena itu, sangat diperlukan dengan segera kerangka hukum atau peraturan khusus yang lebih terperinci dan tepat sasaran, yang menghargai, menghormati dan melindungi keberagaman kebutuhan dan kemampuan pendidik disabilitas, untuk menekan potensi diskriminasi yang dapat merugikan pihak tertentu. Mari berjuang bersama, bersama berjuang menegakkan inklusivitas di negara Berbhineka Tunggal Ika ini dengan mengisi ruang-ruang di media sosial dengan ide dan gagasan inklusif. Harapannya, dengan semakin banyaknya tulisan yang menyoroti urgensi akomodasi yang layak dalam pendidikan sepanjang hayat yang inklusif bagi pendidik disabilitas dapat menghasilkan pemahaman yang lebih mangkus dan mendorong perubahan positif dalam menyediakan lingkungan yang inklusif. Kesimpulannya, fokus utama dari harapan artikel ini adalah pada pendidikan informal bagi pendidik yang telah menyelesaikan pendidikan formal. Dengan demikian, upaya ini dapat memberikan pembebasan bagi pendidik disabilitas, sehingga mereka dapat meraih kesetaraan dalam hak dan peluang dalam dunia pendidikan. Selamat Hari Guru, semoga semangat “merdeka belajar, merdeka mengajar” dapat diwujudkan untuk semua pendidik tanpa terkecuali, semangat menciptakan lingkungan pendidikan yang inklusif : setara dan adil bagi semua.
Daftar istilah :
* adiwidia : Pengetahuan tingkat tinggi
* Asmaraloka: Dunia yang dipenuhi dengan cinta kasih
* Umbu : Leluhur/ Orang yang terdahulu
* Rahayu : Sejahtera/ Sentosa
* bestari : Dalam/ luas
* Mangkus : berhasil guna
Referensi
Adya Pribadi, R., Azizah, M., N Syafariah Efendi, R. (2023). Kinerja Guru Penggerak Dalam Kurikulum Merdeka. Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan (JISIP), Vol. 7 No. 3 Juli 2023
Kurniawan, B. (2023). Pendidikan Inklusif Sepanjang Hayat : Hakikat, landasan, hambatan dan Solusi. Jurnal Linguanetra Special and inclusive education 21/6/2023 https://www.linguanetra.my.id/2023/07/21/pendidikan-inklusif-sepanjang-hayat-hakikat-landasan-hambatan-dan-solusi/
Cornelis Kaligis, O. Prof. (2021). Distorsi: Operasi Politik Berkedok Hukum“ Di Zaman Penjajahan Kita melawan Belanda. Sekarang kita melawan bangsa kita sendiri”. Surat terbuka untuk Komisi III DPR-RI, 384/OCK.XI/2021 26/11/2021 https://sudutpandang.id/wp-content/uploads/2021/12/Catatan-OC-Kaligis.pdf
Zulfitri, H., Setiawati, N. P., & Ismaini, I. (2019). Pendidikan profesi guru (PPG) sebagai upaya meningkatkan profesionalisme guru. LINGUA: Jurnal Bahasa dan Sastra, 19(2), 130-136.
Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen
Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas
Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2020 Tentang Akomodasi Yang Layak Bagi Peserta Didik
Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (PERMENDIKBUD) Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2022 Tentang Pendidikan Guru Penggerak
Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (PERMENDIKBUD) Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2023 Tentang Akomodasi Yang Layak Bagi Peserta Didik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *