Oleh Bima Kurniawan, S. Pd., M. Hum
Akademisi FISIB UTM
Ketua Dewan Kehormatan IGTI
Sudah 78 tahun Indonesia menyandang status “merdeka”. Secara lahiriah, merdeka ini dirasakan sebagai suatu keadaan di mana tidak lagi terjadi bentrokan senjata dengan bangsa lain yang ingin memanfaatkan keuntungan kekuasaan feodal secara tidak adil. Meski demikian, perlu kita sadari bersama bahwa kemerdekaan sejati yang bersifat batiniah juga harus membebaskan setiap individu dari keadaan nestapa. Apakah kita, sebagai warga negara Indonesia yang tinggal di tanah yang penuh dengan sejarah dan pengorbanan ini, sudah benar-benar merasakan kemerdekaan yang hakiki ? Sebelum kita melangkah lebih jauh, alangkah baiknya kita memperluas pemahaman kita tentang makna “merdeka” terlebih dahulu. Secara umum, “merdeka” mengandung makna kebebasan, berdiri sendiri, dan tidak terikat oleh tuntutan tertentu (KBBI : 2017). Namun, terdapat dimensi yang lebih mendalam dari makna ini. Lebih dari sekadar bebas secara fisik, “merdeka” mencakup kebebasan dari segala bentuk penindasan dan eksploitasi terhadap setiap individu, seperti yang diungkapkan oleh Hafidhuddin (2004). Artinya, kemerdekaan sejati juga melibatkan kebebasan dalam mengembangkan potensi dan hak-hak asasi manusia tanpa adanya tekanan atau perlakuan yang merugikan satu individu tertentu.
Dalam sejarah panjang bangsa Indonesia, kemerdekaan diraih melalui perjuangan yang tak terhitung harganya. Perjalanan panjang ini juga menuntut rakyat Indonesia untuk meraih kemerdekaan secara komprehensif tidak hanya secara lahiriah terlepas dari belenggu kekerasan, tetapi juga secara bathiniah dalam pikiran, perasaan, dan pandangan. Kebebasan dalam berpikir memiliki dimensi yang melampaui sekadar bebas secara lahiriah. Ini berarti memiliki kemampuan untuk berpikir dengan cara yang bebas, kritis, dan mandiri. Individu yang merdeka dalam berpikir tidak terikat oleh doktrin, prasangka, atau pandangan sempit. Mereka memiliki kemampuan untuk menggali pengetahuan, menyelidiki berbagai sudut pandang, dan mengeksplorasi gagasan baru tanpa adanya rasa takut terhadap pembatasan. Merdeka dalam berpikir juga mencakup penghargaan terhadap kebebasan berpendapat dan kemampuan untuk membentuk pandangan berdasarkan pemahaman mendalam dan analisis yang rasional.
Baca juga : Peringati HUT RI ke-78, Ketua Ikatan Guru Tunanetra Inklusif Singgung Soal Kemerdekaan Sejati
Hak untuk berpendapat adalah hak yang dijamin oleh hukum Indonesia. Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”) menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak atas kebebasan untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Selain itu, prinsip kebebasan berpendapat juga ditegaskan dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”), yang menyatakan bahwa setiap individu memiliki kebebasan untuk memiliki, mengeluarkan, dan menyebarkan pendapat sesuai dengan hati nuraninya, baik secara lisan maupun tulisan melalui media cetak maupun elektronik, dengan tetap memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan negara. Dari ketentuan hukum ini, dapat disimpulkan bahwa walaupun kebebasan berpendapat adalah hak yang dijamin, tetap ada batasan yang mengiringi hak ini. Nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan integritas negara adalah faktor-faktor yang perlu diakui dalam menggunakan hak ini. Dengan demikian, kebebasan berpendapat di Indonesia, sementara merupakan hak yang dijunjung tinggi, juga harus diimbangi dengan tanggung jawab untuk mempertimbangkan dampak dan resiko yang terjadi bilamana kebebasan ini meluncur sangat “liar”.
Merdeka dalam perasaan melibatkan kemampuan dalam mengelola perasaan dengan kalis dan bijak. Individu dengan perasaan merdeka mampu mengatasi emosi negatif seperti ketakutan, amarah, atau kecemasan berlebihan. Mereka memiliki kontrol diri yang baik, karena mereka mampu memilih respon yang sesuai terhadap situasi tanpa terjebak dalam reaksi impulsif. Kemerdekaan emosional juga mencakup kemampuan untuk memahami dan menghargai perasaan orang lain serta menjalin hubungan interpersonal yang sehat dan bermakna. Kemerdekaan dalam pandangan melibatkan kemampuan untuk melihat dunia dengan sudut pandang yang luas dan inklusif. Individu dengan pandangan merdeka tidak terikat pada pandangan sempit, sehingga mereka mampu mengakui dan menghargai keberagaman budaya, agama, dan pandangan lainnya. merdeka dalam Pandangan juga mencakup kemampuan menghormati hak asasi manusia, kesetaraan, dan keadilan, serta kemampuan untuk menghargai kontribusi semua pihak dalam membangun masyarakat yang lebih baik dan berkelanjutan.
“Kecacatan berpikir” ini bukanlah sebuah istilah yang saya pakai untuk merendahkan sahabat dari komunitas disabilitas intelektual. Saya meyakini bahwa mereka adalah orang-orang hebat yang secara kodratnya terpilih sebagai insan mulia di dunia ini. Lebih lanjut, istilah “kecacatan berpikir” yang saya tekankan di sini adalah “pilihan” berpikir yang salah, karena tergabung dimensi perasaan dan pandangan yang keliru akan suatu hal. Ketika pandangan seseorang terbatas dan sempit mengenai suatu hal, perlahan-lahan perasaan yang salah tersebut akan mengakar dan membentuk pola pikir yang disebut sebagai “kecacatan berpikir”. Kecacatan berpikir yang dipertahankan semakin liar akan menitipkan stigmatisasi ” negatif terhadap suatu hal. Stigma liar yang masih berkeliaran di Negara berbhineka ini adalah stigma negatif terhadap kaum difabel.
Stigma adalah konsep atau persepsi yang merendahkan atau mencemarkan citra seseorang atau kelompok berdasarkan karakteristik tertentu yang dianggap berbeda dari norma sosial. Dalam konteks Indonesia yang berbhineka, stigma liar ini khususnya mengarah pada kaum difabel. Mereka seringkali dihadapkan pada diskriminasi, pengabaian, atau perlakuan tidak adil yang bersumber dari pandangan sempit dan tidak tepat tentang kemampuan dan kontribusi mereka dalam masyarakat. Kecacatan berpikir yang dibiarkan tidak terkendali akan merapuhkan kesatuan dan persatuan bangsasehingga sudah barang tentu akan merugikan kedua belah pihak, baik individu yang mengalami stigma maupun masyarakat secara keseluruhan. Dengan demikian, penting bagi bangsa ini menjaga “kebhinekaan” dengan terus berupaya mengatasi “kecacatan berpikir” dengan mengedepankan pandangan yang lebih inklusif, holistik dan toleran terhadap perbedaan.
“Kecacatan berpikir” terhadap penyandang disabilitas telah lama menjadi tantangan serius bangsa Indonesia. Meskipun bangsa ini hidup dalam era globalisasi yang semakin inklusif, stereotip dan prasangka terhadap mereka yang difabel masih sering menghalangi langkah menuju kesetaraan dan keadilan memperoleh hak dan kewajiban sebagai warga negara. Stigma ini seringkali muncul karena “kecacatan berpikir”, di mana persepsi kotor yang menghalangi pemahaman tentang keberagaman kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik menyebabkan diskriminasi : pengucilan, peniadaan, pelecehan dan pembatasan hak akses dengan rancangan universal.
Mengatasi stigma negatif ini adalah langkah penting menuju masyarakat yang lebih adil dan setara. Bangsa ini perlu menggeser paradigma sempit dari pandangan “kotor” yang menganggap penyandang disabilitas sebagai manusia yang “bermasalah” atau “terbatas” menuju pemahaman bahwa setiap individu memiliki potensi unik yang dilindungi oleh “Hak Asasi Manusia” untuk dapat berkontribusi secara utuh di tengah masyarakat plural. Oleh karena pentingnya menjaga kesatuan dan persatuan bangsa melalui dimensi pluralisme, maka Diperlukan upaya bersama dari seluruh rakyat, tidak terkecuali pemerintah, lembaga pendidikan, keluarga, dan organisasi masyarakat untuk membangun kesadaran dalam mempromosikan pengakuan, penghormatan, penghargaan dan perlindungan terhadap keberagaman dimensi fisik, sensorik, intelektual dan mental manusia Indonesia.
Terdapat beberapa langkah yang bisa diambil untuk dapat keluar dari jenggala “kecacatan berpikir” atas individu dengan disabilitas. Salah satunya adalah dengan menggunakan bahasa yang inklusif untuk menggambarkan “kecacatan” dengan “disabilitas” atau “difabel” guna menghindari terbentuknya kepekatan stereotip. Selain itu, perlu diterapkan pendidikan yang berfokus pada “kemerdekaan belajar”, yang mengakui keragaman kemampuan manusia. Konsep ini sejalan dengan pandangan para pendiri bangsa, yang telah menekankan pentingnya kesetaraan dan keadilan dalam mengembangkan cara berpikir melalui “belajar”. Menurut Soekarno, kemerdekakaan belajar berarti mendapatkan pendidikan berkualitas. Pendapat Mohammad Hatta mengenai kemerdekaan belajar adalah manusia dapat hidup secara mandiri sesuai dengan potensinya. Sementara itu, Syahrir mengemukakan bahwa kemerdekaan belajar di dalam konteks negara Indonesia bertujuan untuk menciptakan generasi baru yang memiliki karakter dan pandangan yang lebih maju. Ki Hadjar Dewantara melihat kemerdekaan belajar sebagai upaya mendorong perkembangan peserta didik agar bisa memberikan perubahan progresif yang berdampak positif bagi masyarakat sekitar. Menggabungkan pandangan para tokoh tersebut, kemerdekaan belajar dapat diartikan sebagai pendidikan yang memiliki standar kualitas tinggi, mengakui hak-hak manusia berdasarkan kemampuan individu, dan bertujuan membentuk manusia dan masyarakat yang baru dengan karakter yang baik untuk memberikan manfaat bagi lingkungan sekitar.
Adalah suatu hal yang patut kita syukuri bahwa saat ini, melalui upaya dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, gagasan tentang kemerdekaan belajar telah dilestarikan kembali melalui kebijakan yang dikenal sebagai “merdeka belajar”. Kebijakan ini memiliki tujuan besar untuk menguatkan paradigma pendidikan menuju arah yang lebih maju, dengan harapan dapat menghasilkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul bagi Indonesia, sesuai dengan cita-cita Profil Pelajar Pancasila. Semoga pelaksanaan dari kebijakan ini bukanlah sesuatu yang temaram, sehingga harus dijalankan dengan cara yang transparan dan efektif, dengan melibatkan semua pihak untuk mendorong pemikiran yang lebih mangkus. Hal ini sangat penting agar kebijakan ini tidak hanya menjadi proyek politik belaka, melainkan sebuah perubahan nyata dan signifikan dalam bidang pendidikan untuk masa depan yang lebih baik.
Harus diakui bahwa “kemerdekaan belajar” seharusnya menjadi hak absolut bagi seluruh warga Indonesia yang hidup dalam kemerdekaan. Melalui usaha untuk menjadikan “kemerdekaan belajar” secara merata, peluang untuk mengatasi “kecacatan berpikir” akan dengan sendirinya menjadi lebih terbuka. “Kemerdekaan belajar” tidak boleh menjadi hak eksklusif bagi mereka yang berada dalam keadaan sejahtera; bahkan mereka yang masih dalam keadaan “prasejahtera” sekalipun harus memiliki kesempatan yang sama ke dalamnya. Prinsip ini memperkuat pula pandangan bahwa “kemerdekaan belajar” tidaklah terbatas pada individu yang tidak memiliki disabilitas, tetapi juga harus dirasakan oleh semua, tanpa pandang bulu, termasuk mereka yang memiliki disabilitas. Semua orang perlu merasakan “kemerdekaan” ini, dengan tujuan utama untuk membebaskan diri dari “kecacatan berpikir” yang sebenarnya mengancam keberagaman bangsa Indonesia. Semua harus “merdeka”, tanpa terkecuali merdeka dari “kecacatan berpikir”, sebab :kecacatan berpikir: merupakan musuh nyata bangsa Indonesia yang berbhineka.
referensi
Hafidhuddin, D. (2004). Islam Aplikatif. Jakarta: Gema Insani Press.
KBBI Daring : 2017
Pangestu D. Aldi, Rochmat, S. 2021. FILOSOFI MERDEKA BELAJAR BERDASARKAN PERSPEKTIF PENDIRI BANGSA. Jurnal
Mata kuliah Pendidikan Pancasila dirancang dalam dua dimensi utama, yakni dimensi teoritis dan dimensi praktis.…
Mata kuliah bahasa Indonesia menawarkan cara berpikir ilmiah melalui bahasa yang sesuai dengan kaidah baku.…
Bima Kurniawan Akademisi Universitas Trnojoyo Madura Dalam periode waktu 40 tahun terakhir, berbagai kajian model…
Oleh Bima Kurniawan Akademisi Universitas Trunojoyo Madura Pendidikan adalah salah satu upaya memanusiakan manusia. Upaya…
Dalam rangka memperingati Hari Disabilitas Internasional (HDI) 2023, dengan bangga, Komunitas Penggiat Pendidikan Inklusif (KOPPI)…
Bima Kurniawan Akademisi Universitas Trunojoyo Madura Ketua Dewan Kehormatan Ikatan Guru Tunanetra Inklusif (IGTI) Pada…