Pendidikan Inklusif Sepanjang Hayat : Hakikat, landasan, hambatan dan Solusi
Bima Kurniawan
Bima.kurniawan@trunojoyo.ac.id
Abstrak
Dalam menghadapi dunia yang kompleks dan tidak menentu (VUCA), pendidikan sepanjang hayat menjadi kunci penting individu untuk dapat beradaptasi menghadapi segala macam perubahan. Pendidikan inklusif sepanjang hayat melibatkan integrasi sikap, nilai, pengetahuan, dan keterampilan yang harus diterapkan secara inklusif oleh individu sepanjang hidup mereka. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi pustaka, yang melibatkan analisis teks dan literatur yang relevan. Tujuannya adalah untuk memperoleh pemahaman yang mendalam tentang hakikat pendidikan inklusif sepanjang hayat di Indonesia, serta mengidentifikasi landasan, hambatan, dan solusi terkait. Di Indonesia, pendidikan inklusif sepanjang hayat telah diatur dalam konstitusi dan filosofi pendidikan. Beberapa ketentuan, seperti Alinea ke-4 UUD 1945, butir pengamalan Pancasila sila ke-2, UU No. 8 tahun 2016, UU No. 20 tahun 2003, dan UU No. 14 tahun 2005, semuanya mengatur tentang pentingnya pendidikan inklusif sepanjang hayat. Meskipun demikian, masih terdapat berbagai hambatan yang dihadapi dalam implementasi pendidikan inklusif sepanjang hayat di Indonesia. Hambatan-hambatan tersebut antara lain diskriminasi dan stigma negatif, kesenjangan akses pendidikan, keterbatasan aksesibilitas dan akomodasi, keterbatasan dalam pelaksanaan pendidikan inklusif, serta fokus yang lebih condong pada ruang formal. Untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut, diperlukan solusi yang komprehensif. Beberapa solusi yang diusulkan adalah pelatihan berkelanjutan bagi semua pihak yang terlibat, sosialisasi pendidikan inklusif yang berkesinambungan, serta kolaborasi dan sinergi antara semua pihak terkait. Dengan mengadopsi langkah-langkah ini, diharapkan penerapan pendidikan inklusif sepanjang hayat dapat menjadi lebih efektif dan inklusif, serta menciptakan lingkungan pendidikan yang mendukung perkembangan dan partisipasi menyeluruh bagi semua individu.
Kata Kunci: Pendidikan inklusif, Pendekatan sepanjang hayat, Konstitusi, Hambatan, Solusi.
Pendahuluan
Dalam era modern ini, dunia menghadapi tantangan perubahan yang kompleks dan beragam dalam berbagai aspek kehidupan. Perubahan dunia yang cepat dan tak terduga, termasuk perubahan kesehatan, perubahan iklim global, perubahan teknologi, dan perubahan sosial dan politik, telah menjadi tema yang mendominasi pembicaraan di berbagai bidang, termasuk pendidikan. Tantangan yang dihadapi dunia saat ini juga ditandai oleh volatilitas, ketidakpastian, kompleksitas, dan ambiguitas yang semakin meningkat. Istilah VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity) menggambarkan kondisi dunia yang tidak stabil, penuh ketidakpastian, kompleks, dan penuh ambiguitas.
Perubahan kesehatan memiliki pengaruh yang signifikan pada setiap individu di seluruh dunia. Kenaikan penyakit kronis dan wabah pandemi global Co-vid 19 yang baru-baru ini telah dirasakan menciptakan kebutuhan baru dalam pemahaman dan pengelolaan kesehatan. Perubahan iklim global juga menjadi fokus utama dalam transformasi dunia saat ini. Perubahan suhu yang ekstrem, perubahan cuaca yang tidak terduga, dan ancaman terhadap lingkungan hidup semuanya telah memberikan dampak yang serius bagi masyarakat global. Selain itu, perkembangan teknologi yang pesat telah mengubah gaya hidup masyarakat. Perubahan teknologi yang terus muncul, seperti kecerdasan buatan, komputasi awan, dan robotika, telah memberikan dampak yang besar pada masyarakat, terutama dalam konteks dunia kerja. Perubahan sosial dan politik memiliki pengaruh yang signifikan dalam membentuk dunia saat ini.
Pendidikan inklusif sepanjang hayat memiliki peran penting dalam mempersiapkan individu menghadapi VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity) dengan mengembangkan keterampilan adaptasi, pemecahan masalah, kolaborasi, dan pemikiran kritis. Selain itu, pendidikan inklusif juga membantu meningkatkan ketahanan mental dan emosional individu saat menghadapi tantangan tak terduga. Dalam menghadapi tantangan kesehatan, pendidikan inklusif sepanjang hayat berfungsi dalam memberikan pemahaman yang lebih baik tentang perubahan kesehatan, meningkatkan kesadaran praktik kesehatan yang baik, dan membantu individu mengembangkan keterampilan yang diperlukan untuk menghadapi tantangan kesehatan baru. Terkait perubahan iklim global, pendidikan inklusif sepanjang hayat membantu individu memahami dampak perubahan iklim dan mendorong adopsi perilaku ramah lingkungan seperti energi terbarukan, pengurangan limbah, dan tindakan berkelanjutan lainnya, sehingga individu dapat berperan sebagai agen perubahan untuk menjaga keberlanjutan bumi. Dalam menghadapi tantangan teknologi, pendidikan inklusif sepanjang hayat bertujuan untuk mempersiapkan individu dengan keterampilan teknologi yang relevan agar dapat menghadapi perubahan teknologi. Pemahaman tentang teknologi digital, keterampilan pemrograman, dan adaptabilitas terhadap perkembangan teknologi baru menjadi kunci keberhasilan dan kontribusi individu. Sementara dalam tantangan sosial politik, pendidikan inklusif sepanjang hayat membantu individu memahami dan beradaptasi dengan perubahan sosial dan politik yang terjadi. Dalam masyarakat yang semakin kompleks dan beragam, pendidikan inklusif mendorong penghargaan terhadap perbedaan, mempromosikan keadilan sosial, dan membantu individu mengembangkan keterampilan sosial dan politik yang diperlukan untuk aktif berpartisipasi dalam masyarakat yang terus berkembang.
Dalam konteks ini, penelitian dan pengembangan pendidikan inklusif sepanjang hayat menjadi sangat penting. Artikel ini bertujuan untuk menggali lebih dalam peran pendidikan inklusif sepanjang hayat dalam menghadapi perubahan dunia yang sedang terjadi. Dengan mengemukakan hakikat pendidikan inklusif sepanjang hayat, landasan filosofis dan konstitusional dan hambatan pendidikan inklusif sepanjang hayat diharapkan artikel ini dapat memberikan wawasan dan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana pendidikan inklusif dapat membantu individu menghadapi perubahan dunia dengan lebih baik.
Metode penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi pustaka. Metode ini melibatkan analisis teks dan literatur yang relevan untuk memahami hakikat pendidikan inklusif sepanjang hayat di Indonesia, serta untuk mengidentifikasi landasan, hambatan, dan solusi terkait yang akan ditawarkan.
Penelitian ini dilakukan dengan tahapan (i) Identifikasi hakikat pendidikan inklusif sepanjang hayat di Indonesia, landasan pendidikan inklusif sepanjang hayat di Indonesia, hambatan yang dihadapi dalam menerapkan pendidikan inklusif sepanjang hayat di Indonesia (ii) pencarian sumber bacaan (iii) analisis dan sintesis bacaan dengan mengajukan solusi untuk mengatasi hambatan tersebut dan (iv) membuat laporan penelitian.
Hakikat pendidikan
Pendidikan merupakan suatu proses yang tidak hanya berkaitan dengan penyaluran pengetahuan, tetapi juga melibatkan pengembangan nilai-nilai, sikap perilaku, dan keterampilan individu. Hakikat dari pendidikan adalah menciptakan individu yang berkualitas dan berdaya guna dalam masyarakat. Definisi pendidikan mencakup berbagai aspek yang saling terkait dan saling mempengaruhi.
Pertama, pengembangan nilai-nilai merupakan bagian penting dari pendidikan. Pendidikan bertujuan untuk mengajarkan dan memperkuat nilai-nilai seperti kejujuran, toleransi, tanggung jawab, keadilan, dan empati. Nilai-nilai ini membentuk dasar moral dan etika individu, mempengaruhi interaksi sosial, dan menciptakan fondasi untuk kehidupan yang bermakna. Melalui pendidikan, individu diajarkan untuk menghargai dan menerapkan nilai-nilai ini dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua, pendidikan juga berperan dalam mengembangkan sikap perilaku yang positif. Sikap perilaku mencakup aspek seperti disiplin, kerjasama, komitmen, rasa percaya diri, dan kerja keras. Pendidikan memberikan lingkungan yang mendukung untuk memupuk sikap-sikap ini melalui pembelajaran yang terstruktur, pengalaman sosial, dan interaksi dengan lingkungan sekitar. Sikap perilaku yang baik sangat penting dalam membentuk kepribadian yang kuat, membuat individu siap menghadapi tantangan hidup, dan menjadi warga yang produktif dan bermanfaat bagi masyarakat.
Ketiga, pengetahuan merupakan komponen inti dari pendidikan. Pendidikan bertujuan untuk menyampaikan pengetahuan yang relevan dan bermanfaat kepada individu. Pengetahuan mencakup berbagai disiplin ilmu, konsep, fakta, dan teori yang membantu individu memahami dunia di sekitarnya. Melalui pembelajaran yang terstruktur, individu diberikan kesempatan untuk mengembangkan pemahaman yang mendalam tentang berbagai bidang pengetahuan. Pengetahuan yang diperoleh melalui pendidikan membuka pintu bagi kemajuan pribadi, pengembangan karir, dan partisipasi aktif dalam kehidupan masyarakat.
Selanjutnya, pendidikan juga fokus pada pengembangan keterampilan. Keterampilan mencakup kemampuan praktis dan keterampilan intelektual yang dibutuhkan untuk berhasil dalam kehidupan. Keterampilan dapat mencakup keterampilan komunikasi, keterampilan pemecahan masalah, keterampilan kolaborasi, keterampilan teknologi, dan keterampilan berpikir kritis. Melalui pendidikan, individu diberikan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan ini melalui pembelajaran praktis, proyek, dan pengalaman nyata. Keterampilan yang diperoleh melalui pendidikan membantu individu menjadi lebih kompeten, adaptif, dan siap menghadapi tantangan yang kompleks di dunia nyata.
Perlu ditegaskan bahwa pendidikan bukan hanya sekadar penyaluran pengetahuan, tetapi juga melibatkan pengembangan nilai-nilai, sikap perilaku, dan keterampilan individu. Hakikat pendidikan terletak pada upaya untuk menciptakan individu yang berkualitas dan berdaya guna dalam masyarakat. Dalam proses pendidikan, individu diajarkan untuk mengembangkan nilai-nilai yang baik, sikap perilaku yang positif, pengetahuan yang luas, dan keterampilan yang relevan. Semua aspek ini saling terkait dan berkontribusi dalam membentuk individu yang beradaptasi, berkompeten, dan berkontribusi dalam dunia yang terus berubah.
Ki Hajar Dewantara, seorang tokoh pendidikan Indonesia, memberikan pandangan yang komprehensif tentang hakikat pendidikan dan pengajaran. Menurutnya, pendidikan bukanlah sekadar penyerapan informasi, tetapi merupakan proses pembentukan kepribadian yang utuh, merangkul semua aspek kehidupan individu. Ki Hajar Dewantara menekankan bahwa pendidikan adalah suatu usaha untuk membantu perkembangan dan pengembangan seluruh potensi manusia, baik potensi intelektual, moral, maupun emosional. Dalam pandangannya, pendidikan bertujuan untuk mencapai kesejahteraan yang utuh dalam arti yang lebih luas, yaitu kesejahteraan dalam segi jasmani, rohani, sosial, dan intelektual. Sedangkan pengajaran, menurutnya adalah bagian integral dari pendidikan. Pengajaran sebagai suatu proses yang berpusat pada peserta didik, di mana guru bertindak sebagai fasilitator dan pemandu dalam proses pembelajaran. Lebih dari sekadar penyaluran informasi, pengajaran menurutnya melibatkan interaksi yang harmonis antara guru dan peserta didik, membangun hubungan emosional yang baik, dan membangkitkan minat serta semangat belajar yang tinggi.
Ki Hajar Dewantara juga menekankan pentingnya pendekatan holistik dalam pendidikan dan pengajaran. Menurut pendapatnya, pendidikan harus melibatkan seluruh aspek kehidupan individu, termasuk dimensi fisik, intelektual, emosional, dan spiritual. Dalam pandangannya, pendidikan yang holistik mencakup pembelajaran akademik yang solid, pengembangan keterampilan praktis, pembentukan karakter yang kuat, dan penguatan nilai-nilai moral.
Dengan demikian, pendidikan sepanjang hayat merupakan suatu proses yang melibatkan pengembangan nilai-nilai, sikap, pengetahuan, dan keterampilan individu sepanjang masa hidupnya. Melalui pendidikan sepanjang hayat, individu terus belajar dan tumbuh secara berkelanjutan, baik melalui pendidikan formal maupun informal, dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup, mengembangkan diri, dan memberikan kontribusi yang positif dalam masyarakat.
Paradifma pendidikan inklusif
Perkembangan pendidikan modern telah mengubah paradigma hubungan antara guru dan peserta didik. Pendekatan tradisional yang menggambarkan guru sebagai satu-satunya sumber pengetahuan dan peserta didik sebagai objek pasif belajar telah berangsur-angsur bergeser menjadi pendekatan yang lebih kolaboratif dan responsif. Pendidikan saat ini menempatkan interaksi antara guru dan peserta didik sebagai fokus utama. Meskipun guru tetap berperan sebagai fasilitator dan panduan dalam proses pembelajaran, namun peran peserta didik juga diakui sebagai kontributor yang memiliki potensi yang berharga dalam lingkungan belajar. Paradigma ini mengakui bahwa peserta didik memiliki pengetahuan, pengalaman, dan kemampuan yang unik, sehingga memungkinkan kolaborasi yang saling mempengaruhi antara guru dan peserta didik dalam mencapai tujuan pembelajaran.
Perbedaan pengetahuan antara guru dan peserta didik tidak lagi menjadi batasan yang tegas. Meskipun guru memiliki pengetahuan yang luas dan berperan sebagai sumber informasi, peserta didik juga memiliki pengetahuan dan pengalaman unik yang dapat berkontribusi dalam proses pembelajaran. Belajar tidak lagi hanya sebatas menerima informasi dari guru, tetapi melibatkan pemikiran aktif peserta didik, termasuk mengajukan pertanyaan, berpartisipasi dalam diskusi, dan melakukan eksplorasi mandiri. Pendekatan ini memungkinkan peserta didik untuk aktif terlibat dalam membangun pengetahuan mereka sendiri, memperluas pemahaman, dan mengembangkan keterampilan berpikir kritis.
Guru dan peserta didik berkolaborasi dalam pemikiran. Guru tidak lagi menjadi satu-satunya pemikir atau penentu dalam kelas, tetapi melibatkan peserta didik dalam berpikir kritis, menganalisis, dan memecahkan masalah. Interaksi yang melibatkan pemikiran peserta didik melalui diskusi, proyek, dan aktivitas kelompok memungkinkan mereka untuk mengembangkan keterampilan berpikir mandiri dan melihat berbagai sudut pandang.
Komunikasi yang berlangsung dalam kelas juga berubah. Guru tidak hanya berbicara dan peserta didik mendengarkan dengan patuh, tetapi komunikasi menjadi dialog dua arah. Guru mendengarkan peserta didik, memberikan umpan balik yang konstruktif, dan merespons kebutuhan dan kepentingan peserta didik. Dalam suasana yang inklusif dan saling mendukung, peserta didik merasa dihargai dan memiliki ruang untuk berekspresi dengan bebas.
Ketentuan dan aturan kelas juga dikembangkan secara bersama-sama antara guru dan peserta didik. Guru bukanlah satu-satunya yang menetapkan aturan, tetapi melibatkan peserta didik dalam mengembangkan norma dan etika yang memungkinkan suasana belajar yang positif dan produktif. peserta didik didorong untuk memiliki tanggung jawab dalam mengikuti aturan tersebut, sehingga membangun kemandirian, disiplin, dan rasa tanggung jawab.
Selanjutnya, program pembelajaran tidak lagi ditentukan semata oleh guru, tetapi melibatkan peserta didik dalam pengambilan keputusan. Peserta didik memiliki peran dalam menentukan tujuan belajar, mengeksplorasi minat pribadi, dan memilih jalur pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi mereka. Guru memberikan bimbingan dan kerangka kerja yang membantu peserta didik dalam pengambilan keputusan, sehingga memberikan rasa kepemilikan dan motivasi yang lebih besar dalam proses pembelajaran.
Hubungan antara guru dan peserta didik dalam pendidikan modern seyogyanya lebih terbuka, kolaboratif, dan responsif. Guru tidak hanya sebagai penyampai informasi, tetapi juga sebagai fasilitator, pemandu, dan pendukung peserta didik dalam mencapai potensi mereka. Peserta didik, sebagai mitra dalam proses pembelajaran, memiliki peran aktif dalam pemikiran, pengambilan keputusan, dan pengembangan diri.
Pergeseran paradigma dalam pendidikan telah mengubah peran penting guru sebagai satu-satunya penentu dalam proses pembelajaran. Kini, peserta didik juga diakui memiliki kontribusi penting dalam proses pembelajaran. Hal ini mendorong seluruh komunitas pendidikan untuk memberikan kesempatan dan keterlibatan yang setara di antara peserta didik. Paradigma ini mengakui bahwa setiap peserta didik memiliki potensi unik yang dapat berkontribusi dalam proses pembelajaran, dan bahwa setiap individu harus diberikan kesempatan yang sama untuk berkembang dan berpartisipasi aktif.
Dalam pengakuan pentingnya partisipasi semua peserta didik, maka diperlukan adanya kepastian pendekatan pendidikan inklusif yang terstruktur. Pendekatan ini bertujuan untuk memastikan bahwa semua peserta didik, tanpa memandang perbedaan atau kebutuhan khusus, dapat terlibat secara penuh dalam proses pembelajaran. Melalui pendekatan inklusif yang paripurna, setiap peserta didik memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas dengan pengakuan, penghargaan, penghormatan dan perlindungan dalam lingkungan belajar.
Pendekatan pendidikan inklusif merupakan suatu pendekatan yang berfokus pada keterlibatan seluruh peserta didik, termasuk peserta didik dengan kebutuhan khusus. Tujuan dari pendekatan ini adalah untuk menciptakan lingkungan belajar yang inklusif dan mampu memberikan akomodasi yang diperlukan bagi peserta didik dengan kebutuhan khusus tersebut. Dalam pendekatan inklusif, tidak ada pemisahan antara peserta didik berkebutuhan khusus dengan peserta didik lainnya, melainkan mereka ditempatkan di dalam kelas yang sama. Dengan memberikan akomodasi yang tepat, seperti penyediaan dukungan sarana dan prasarana, modifikasi kurikulum, serta penggunaan teknologi pendidikan yang ramah, peserta didik dengan kebutuhan khusus dapat terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran. Pendekatan ini menghargai keberagaman peserta didik dan menjunjung sikap inklusif dengan mengedepankan saling peduli, dan kesetaraan dalam lingkungan pendidikan.
Landasan pendidikan inklusif di Indonesia
Prinsip pendidikan inklusif mendasarkan pada pengakuan, kehadiran, partisipasi, dan prestasi/pencapaian. Pengakuan mengacu pada prinsip bahwa setiap individu memiliki nilai dan hak yang sama dalam lingkungan pendidikan. Pernyataan ini berarti mengakui dan menghormati keunikan, kemampuan, dan kebutuhan setiap peserta didik tanpa diskriminasi. Selanjutnya, prinsip kehadiran menekankan pentingnya menyediakan aksesibilitas fisik dan psikologis yang memadai bagi semua individu, sehingga tidak ada yang terabaikan atau dikecualikan dari proses pendidikan. Partisipasi adalah prinsip yang berfokus pada keterlibatan aktif dan inklusif semua peserta didik dalam aktivitas pembelajaran, termasuk kolaborasi, interaksi sosial, dan pengambilan keputusan. Prinsip selanjutnya, prestasi/pencapaian, menekankan pentingnya memberikan dukungan dan pengakuan untuk perkembangan akademik dan non-akademik setiap peserta didik, dengan penekanan pada potensi individu dan pencapaian yang bervariasi. Dengan mendasarkan pada prinsip-prinsip ini, pendidikan inklusif bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang adil, mendukung, dan berdaya guna bagi semua peserta didik, di mana mereka dapat tumbuh, belajar, dan berprestasi sesuai dengan potensi mereka.
Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk melindungi prinsip pendidikan inklusif sepanjang hayat, sebagaimana yang tercermin dalam ketentuan konstitusional. Alinea ke-4 UUD 1945, Pancasila sila ke-2, UU 20 tahun 2003 pasal 3 dan 5, UU 8 Tahun 2016 Pasal 10 dan 11, UU 19 Tahun 2011, serta UU 14 Tahun 2005 pasal 7 menjadi landasan yang mengatur pendidikan inklusif sepanjang hayat di Indonesia. Melalui ketentuan ini, negara Indonesia bertujuan untuk memastikan bahwa pendidikan inklusif sepanjang hayat dapat diakses oleh semua individu tanpa diskriminasi, serta memastikan bahwa hak setiap individu untuk menerima pendidikan yang sesuai dengan potensi mereka terpenuhi dengan baik. Dalam hal ini, pemerintah mencoba bertanggung jawab untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang inklusif, menyediakan aksesibilitas yang memadai, dan memberikan dukungan yang dibutuhkan untuk perkembangan akademik dan non-akademik setiap individu. Negara Indonesia berupaya melindungi prinsip pendidikan inklusif sepanjang hayat untuk memastikan bahwa setiap individu memiliki kesempatan yang setara dalam mengakses dan memperoleh pendidikan yang berkualitas.
Pendidikan inklusif sepanjang hayat di Indonesia memiliki landasan yang kuat. Alinea ke-4 pembukaan UUD 1945, yang menyebutkan tentang mencerdaskan kehidupan bangsa, mencerminkan pentingnya pendidikan dalam mendorong perkembangan bangsa. Selain itu, butir pengamalan Pancasila sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab” menekankan prinsip kesetaraan hak bagi setiap individu tanpa diskriminasi. UU No. 20 tahun 2003 pasal 4 ayat 3 dan pasal 5 menegaskan bahwa pendidikan merupakan proses pembudayaan dan pemberdayaan yang berlangsung sepanjang kehidupan, dan setiap warga negara berhak meningkatkan pendidikan sepanjang masa hidupnya. Selanjutnya, UU No. 8 tahun 2016 Pasal 10 huruf A dan B memberikan hak kepada penyandang disabilitas untuk mengikuti pendidikan dan menjadi pendidik atau tenaga kependidikan. Pasal 11 huruf G UU tersebut memberikan hak kepada mereka dalam pengembangan karir dan akses ke semua hak normatif terkait. UU No. 19 tahun 2011 mewajibkan negara untuk menjamin sistem pendidikan inklusif pada setiap tingkatan dan sepanjang masa hidup. Berikutnya adalah UU No. 14 tahun 2005 pasal 7 huruf G yang memberikan kesempatan kepada pendidik untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan melalui pembelajaran sepanjang hayat. Semua landasan hukum ini menggarisbawahi pentingnya pendidikan inklusif sepanjang hayat di Indonesia, yang menekankan kesetaraan akses dan kesempatan bagi semua individu dalam mengembangkan potensi mereka melalui pendidikan.
Ruang pendidikan inklusif sepanjang hayat
Pendidikan inklusif sepanjang hayat melibatkan berbagai ruang yang memiliki peran penting dalam mendukung perkembangan individu. Ruang pendidikan inklusif ini mencakup ruang keluarga, ruang formal, ruang non-formal, dan ruang informal.
Ruang keluarga merupakan lingkungan awal di mana individu pertama kali terlibat dalam proses pembelajaran. Di ruang ini, keluarga memberikan dasar nilai, keterampilan, dan pengalaman yang penting dalam membentuk kepribadian individu. Ruang formal mengacu pada ruang pendidikan di sekolah atau lembaga pendidikan resmi. Di ruang ini, individu menerima pembelajaran yang terstruktur dan diberikan kesempatan untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Ruang non-formal melibatkan berbagai program dan kegiatan di luar lingkungan sekolah yang dirancang untuk pendidikan tambahan dan pengembangan keterampilan. Ini termasuk kursus privat, pelatihan kerja, atau program pengembangan diri yang memberikan kesempatan bagi individu untuk terus belajar dan berkembang meningkatkan potensi, bakat dan minat. Ruang informal melibatkan pembelajaran yang terjadi di luar ruang formal dan non-formal, seperti melalui interaksi sosial, pengalaman sehari-hari, atau interaksi melalui media sosial. Individu belajar melalui interaksi dengan teman, lingkungan sekitar, dan akses informasi yang tersedia melalui media sosial. Ruang ini sangat berpengaruh dalam membentuk kepribadian sosial dan religius setiap individu.
Menurut pandangan Ki Hajar Dewantara, ruang pendidikan juga meliputi ruang keorganisasian pemuda. Di ruang ini, pemuda dapat berpartisipasi dalam organisasi, kelompok, dan kegiatan yang membantu mereka mengembangkan keterampilan sosial, kepemimpinan, dan kesadaran diri sebagai warga negara yang berbangsa, bernegara, dan beragama. Pada hakikatnya Sangat penting menyatakan bahwa semua ruang ini saling melengkapi dalam mendukung pendidikan inklusif sepanjang hayat. Masyarakat dan pemerintah memiliki peran aktif dalam menciptakan lingkungan yang mendukung akses dan kesempatan bagi semua individu untuk belajar dan berkembang di ruang-ruang ini. Hal ini akan menciptakan masyarakat yang berpendidikan, inklusif, dan berdaya saing.
Hambatan pendidikan inklusif di Indonesia
Di Indonesia, pendidikan inklusif masih menghadapi beberapa tantangan yang serius. Salah satunya adalah adanya diskriminasi dan stigma negatif dalam masyarakat terhadap individu dengan kebutuhan khusus. Akibatnya, individu dengan kebutuhan khusus kerap kali mengalami penolakan pengakuan di lingkungan pendidikan. Selain itu, terdapat pula kesenjangan akses pendidikan antara individu berkebutuhan khusus dengan individu tanpa kebutuhan khusus. Keterbatasan fasilitas pendidikan inklusif mencerminkan kurangnya dukungan dari pemerintah dan lembaga pendidikan, yang juga menjadi salah satu hambatan yang perlu diatasi. Seringkali ditemukan keterbatasan dalam aksesibilitas dan akomodasi di berbagai lingkungan pendidikan, termasuk di ruang formal, non-formal, dan informal. Fasilitas pendidikan pada kenyataanya dibangun tanpa mempertimbangkan kebutuhan individu berkebutuhan khusus, sehingga akibatnya dapat menghambat partisipasi mereka. Keterbatasan ini dapat menyulitkan individu dengan kebutuhan khusus dalam mengakses fasilitas pendidikan secara optimal. Di samping itu, implementasi pendidikan inklusif cenderung lebih berfokus pada ruang formal saja. Perhatian terhadap ruang non-formal sebagai tempat untuk mengembangkan karier setelah pendidikan formal masih kurang dalam konteks pendidikan inklusif. Pada kenyataannya, individu dengan kebutuhan khusus yang telah menyelesaikan pendidikan formal dan telah membangun karier mereka juga membutuhkan kesempatan yang setara dengan rekan kerja lainnya dalam hal pelatihan, workshop, dan seminar yang inklusif. Selain itu, di ruang informal, individu dengan kebutuhan khusus juga membutuhkan pemahaman tentang etika, estetika, moral, dan dimensi keagamaan.
Solusi mengatasi hambatan
Untuk mengatasi hambatan yang menyumbat perkembangan pendidikan inklusif sepanjang hayat di Indonesia harus dilakukan langkah-langkah serius oleh semua pihak. Pertama, diperlukan pelatihan berkelanjutan bagi semua pihak yang terlibat dalam pendidikan inklusif, seperti guru, staf sekolah, dan tenaga pendidik lainnya. Pelatihan ini akan membekali mereka dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan inklusivitas dan mengatasi tantangan yang masih berkeliaran dalam masyarakat. Kedua, sangat penting untuk melakukan sosialisasi pendidikan inklusif secara berkelanjutan. Hal ini melibatkan kampanye penyuluhan dan informasi yang terus-menerus kepada masyarakat, termasuk orang tua, komunitas, dan pemangku kepentingan terkait, tentang pentingnya pendidikan inklusif dan manfaatnya bagi semua individu. Ketiga, kolaborasi dan sinergi antara semua pihak terlibat, termasuk pemerintah, lembaga pendidikan, masyarakat, dan keluarga, harus ditingkatkan. Kerja sama yang baik dan saling mendukung antara semua pihak akan memperkuat implementasi pendidikan inklusif dan menciptakan lingkungan yang inklusif bagi semua individu. Keempat, diperlukan penyediaan akomodasi dan aksesibilitas yang memadai di semua aspek pendidikan. Ini mencakup fasilitas fisik yang ramah bagi individu dengan kebutuhan khusus, penggunaan teknologi asistif, dan penyesuaian lainnya sesuai dengan kebutuhan individu. Dengan adanya aksesibilitas yang baik, individu dengan kebutuhan khusus akan dapat mengikuti pendidikan dengan maksimal dan merasakan lingkungan inklusif yang sebenarnya. Kelima, sangat perlu diperkuat pemahaman dan penerapan inklusivitas di ruang non-formal dan informal. Pendekatan pendidikan inklusif harus diperluas ke luar lingkup ruang formal, seperti melibatkan pusat pelatihan, program komunitas, dan kegiatan informal lainnya. Dalam konteks ini, individu dengan kebutuhan khusus juga perlu mendapatkan dukungan dan kesempatan yang sama untuk pengembangan keterampilan, pengetahuan, dan pengalaman secara komprehensif yang sangat berguna dalam pembentukkan dan peningkatan karier.
Dengan memperhatikan serius langkah-langkah ini, diharapkan dapat mengatasi hambatan-hambatan yang menghambat perkembangan pendidikan inklusif sepanjang hayat di Indonesia. Upaya ini diharapkan akan menciptakan lingkungan pendidikan yang inklusif bagi semua individu yang dapat dinikmati sepanjang usia.
Simpulan
Mengingat pentingnya pendidikan sepanjang hayat sebagai investasi yang signifikan bagi pengembangan individu dalam bermasyarakat dan bernegara, pendekatan inklusif dalam penyelenggaraan pendidikan sangat perlu diutamakan. Akses yang mudah dan adil, relevansi yang tinggi dengan kebutuhan individu dan perkembangan masyarakat, fleksibilitas dalam menyesuaikan dengan perubahan zaman, serta kolaborasi yang kuat antara berbagai pihak, menjadi kunci sukses dalam mendukung pendidikan inklusif sepanjang hayat sesuai dengan amanat konstitusi negara. Dalam era perubahan yang begitu cepat, setiap individu dituntut untuk beradaptasi dengan terus belajar sepanjang hayat mereka. Prinsip “Never stop learning because life never stops teaching” menegaskan betapa pentingnya komitmen untuk terus belajar dan mengembangkan diri sepanjang hayat. Dengan menerapkan pendekatan inklusif untuk prioritas pendidikan sepanjang hayat, dapat dipastikan bahwa setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk terus tumbuh, beradaptasi, dan berkontribusi dalam masyarakat yang terus berkembang.
Referensi
Ahmad, W. (2012). Barriers of inclusive education for children with intellectual disability. [Indian Streams Reserach Journal Vol.2,Issue.II/March].
Freire, P. (2018). The banking concept of education.
Hirsch, E. D., Jr. (2012). Building Knowledge The Case for Bringing Content into the Language Arts Block and for a Knowledge-Rich Curriculum Core for all Children. [A Union of Professionals jurnal http://www.aft.org/newspubs/periodicals/ae/spring2006/hirsch.cfm].
Mardana, B. P., Adiarta, A., & Artanayasa, I. W. (2019). Filsafat pendidikan Ki Hajar Dewantara (Tokoh Timur). [Jurnal Filsafat Indonesia Vol. 2 No. 3 (2019) https://doi.org/10.23887/jfi.v2i3.22187].
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2017 Tentang Penguatan Pendidikan Karakter.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2018 Tentang Penguatan Pendidikan Karakter melalui Pendidikan Formal
Pivik, J., McComas, J., & Laflamme, M. (2002). Barriers and facilitators to inclusive education. [Exceptional children, Jurnal Vol. 69, No. 1, pp. 97-107 – J Pivik, J McComas, M Laflamme – Exceptional children, 2002 – journals.sagepub.com].
Putra, M. A. H. (2019). Building character education through the civilization nations children. [The Kalimantan Social Studies Journal, 2019].
Salamati, P. (2012). Lifelong learning: Why do we need it? [Jurnal Sciences Procedia – Social and Behavioral Sciences 00 (2011)].
Sari, C. N., & Hendriani, W. (2021). Hambatan pendidikan inklusi dan bagaimana mengatasinya: Telaah kritis sistematis dari berbagai negara. [Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, 2021].
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Konvensi Hak Asasi Penyandang Disabilitas.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas.
Wyn, J. (2009). Touching the future: Building skills for life and work. [research Journal].
Pendidikan Inklusif Sepanjang Hayat Hakikat, landasan, hambatan dan Solusi {full pdf}
Mata kuliah Pendidikan Pancasila dirancang dalam dua dimensi utama, yakni dimensi teoritis dan dimensi praktis.…
Mata kuliah bahasa Indonesia menawarkan cara berpikir ilmiah melalui bahasa yang sesuai dengan kaidah baku.…
Bima Kurniawan Akademisi Universitas Trnojoyo Madura Dalam periode waktu 40 tahun terakhir, berbagai kajian model…
Oleh Bima Kurniawan Akademisi Universitas Trunojoyo Madura Pendidikan adalah salah satu upaya memanusiakan manusia. Upaya…
Dalam rangka memperingati Hari Disabilitas Internasional (HDI) 2023, dengan bangga, Komunitas Penggiat Pendidikan Inklusif (KOPPI)…
Bima Kurniawan Akademisi Universitas Trunojoyo Madura Ketua Dewan Kehormatan Ikatan Guru Tunanetra Inklusif (IGTI) Pada…